Powered By Blogger

28 Apr 2011

Asuhan Keperawatan Stenosis Katup Mitral

STENOSIS KATUP MITRAL

A. PENGERTIAN


Secara definisi maka stenosis mitral dapat diartikan sebagai blok aliran darah pada tingkat katup mitral, akibat adanya perubahan struktur mitral leafleats, yang menyebabkan tidak membukanya katup mitral secara sempurna pada saat diastolik. (Arjanto Tjoknegoro. 1996).
Stenosis Katup Mitral merupakan penyempitan pada lubang katup mitral yang akan menyebabkan meningkatnya tahanan aliran darah dari atrium kiri ke ventrikel kiri. (www.medicastore.com).



B. ETIOLOGI
Stenosis katup mitral hampir selalu disebabkan oleh demam rematik, yang pada saat ini sudah jarang ditemukan di Amerika Utara dan Eropa Barat. Karena itu di wilayah tersebut, stenosis katup mitral terjadi terutama pada orang tua yang pernah menderita demam rematik pada masa kanak-kanak dan mereka tidak
Mendapatkan antibiotik.
Di bagian dunia lainnya, demam rematik sering terjadi dan menyebabkan stenosis katup mitral pada dewasa, remaja dan kadang pada anak-anak.
Yang khas adalah jika penyebabnya demam rematik, daun katup mitral sebagian bergabung menjadi satu.
Pada fase penyembuhan demam reumatik terjadi fibrosis dan fusi komisura katup mitral, sehingga terbentuk sekat jaringan ikat tanpa pengapuran yang mengakibatkan lubang katup mitral pada waktu diastolik lebih kecil dari normal.
Stenosis katup mitral juga bisa merupakan suatu kelainan bawaan.
Bayi yang lahir dengan kelainan ini jarang bisa bertahan hidup lebih dari 2 tahun, kecuali jika telah menjalani pembedahan.
Beberapa keadaan juga dapat menimbulkan obstruksi aliran darah ke ventrikel kiri seperti Cor triatrium, Miksoma (tumor jinak di atrium kiri) atau bekuan darah (trombus) dapat menyumbat aliran darah ketika melewati katup mitral dan menyebabkan efek yang sama seperti stenosis katup mitral.

C. TANDA DAN GEJALA
Jika stenosisnya berat, tekanan darah di dalam atrium kiri dan tekanan darah di dalam vena paru-paru meningkat, sehingga terjadi gagal jantung, dimana cairan tertimbun di dalam paru-paru (edema pulmoner).Jika seorang wanita dengan stenosis katup mitral yang berat hamil, gagal jantung akan berkembang dengan cepat.
Penderita yang mengalami gagal jantung akan mudah merasakan lelah dan sesak nafas.Pada awalnya, sesak nafas terjadi hanya sewaktu melakukan aktivitas, tetapi lama-lama sesak juga akan timbul dalam keadaan istirahat.Sebagian penderita akan merasa lebih nyaman jika berbaring dengan disangga oleh beberapa buah bantal atau duduk tegak.
Warna semu kemerahan di pipi menunjukkan bahwa seseorang menderita stenosis katup mitral.Tekanan tinggi pada vena paru-paru dapat menyebabkan vena atau kapiler pecah dan terjadi perdarahan ringan atau berat ke dalam paru-paru.
Pembesaran atrium kiri bisa mengakibatkan fibrilasi atrium, dimana denyut jantung menjadi cepat dan tidak teratur.




D. PATOFISIOLOGI



















Secara hemodinamik penderita stenosis mitral terjadi penyempitan dari katub mitral yang akan menghalangi aliran darahdari atrium kiri ke dalam ventrikel kiri ,lambat laun akan menambah beban volume dan tekanan atrium kiri akan berusaha untuk mengalirkan darah dalam jumlah yang cukup ke dalam ventrikel kiri , makin lama akan menjadi hipertofi dan delatasi atrium yang akan menghambat aliran darah vena pulmonalis dan timbul bendungan paru secara pasif dan oedema interstitial paru juga dapat menyebabkan bendungan arteri pulmonalis dan timbulah hipertensi pulmoner akibatnya ventrikel kanan kesulitan dalam memompa darah ke dalam arteri pulmonalis sehingga timbul hipertrofi dan delatasi ventrikel kanan akhirnya menyebabkan gagal jantung dan kongesti pembuluh balik secara sistemik.

E. PENATALAKSANAAN
1. Pengobatan
Prinsip dasar penatalaksanaan adalah melebarkan lubang katup mitral yang menyempit , tetapi indikasi ini hanya untuk pasien kelas fungsional III (NYHA) keatas.Pengobatan farmakologis hanya diberikan bila ada tanda-tanda gagal jantung , aritmia ataupun reaktifitas reuma.
Obat-obatan sperti beta-blocker,digoxin dan verapamil dapat memperlambat denyut jantung dan membantu mengendalikan fibrilasi atrium.Jika terjadi gagal jantung,digoxin juga akan memperkuat denyut jantung.
Pada keadaan fibrilasi atrium pemakaian digitalis merupakan indikasi dapat dikombinaskan penyehat beta atau antagonis kalsium.
Diuretic dapat mengurangi tekanan darah dalam paru-paru dengan cara mengurangi volume sirkulasi darah untuk mengurangi kongesti.
Antikoagulan warfarin sebaiknya dipakai pada stenosis mitral dengan fibrilasi atrium atau irama sinus dengan kecenderungan pembentukan thrombus untuk mencegah fenomena tromboemboli.
Jika terapi obat tidak dapat mengurangi gejala secara memuaskan ,mungkin perlu dilakukan perbaikan atau penggantian katup.
Intervensi bedah,reparasi atau ganti katup :
a. Closed mitral commisurotomy
b. Open mitral valvotomy
c. Mitral valve replacement.
Pada prosedur valvulopasti balon,lubang katup diregangkan.Kateter yang pada ujungnya terpasang balon,dimasukan melalui vena ke jantung.ketika berada didalam katup balon digelembungkan dan akan memisahkan daun katup yang menyatu.pemisahan daun katup yang menyatu juda bisa dilakukan melalui pembedahan.Jika kerusakan katupnya terlalu parah,bisa diganti dengan katup mekanik atau katup yang sebagian dibuat dari katup babi.
Sebelum menjalani berbagai tindakan gigi atau pembedahan,kepada penderita diberikan antibiotic pencegahan untuk mengurangi resiko terjadiinya infeksi katup jantung.
2. Pencegahan
Stenosis katup mitral dapat dicegah hanya dengan mencegah terjadinya demam rematik yaitu penyakit pada masa kanak-kanak yang kadang terjadi setelah strep throath (infeksi) tenggorokan oleh streptokokkus yang tidak diobati.Pencegahan eksaservasi demam rematik dapat dengan :
a. Benzatin penisilin 6,12 juta ยต IM setiap 4 minggu sampai umur 40 tahun.
b. Eritromisin 2x250 mg/hari
Profilaksis reuma harus diberikan sampai umur 25 tahun walaupun sudah dilakukan intervensi.Bila sudah berumur 25 tahun lebih masih terdapat tanda-tanda reaktivitasi,maka profilaksis dilanjutkan 5 tahun lagi.Pencegahan terhadap endokarditis infektif diberikan pada setiap tindakan operasi misalnya pencabutan gigi,luka dan sebagainya.

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1. Kateterisasi jantung : Gradien tekanan (pada distole) antara atrium kiri dan ventrikel kiri melewati katup mitral, penurununan orivisium katup (1,2 cm), peninggian tekanan atrium kiri, arteri pulmunal, dan ventrikel kanan ; penurunan curah jantung.
2. Ventrikulografi kiri : Digunakan untuk mendemontrasikan prolaps katup mitral.
3. ECG : Pembesaran atrium kiri ( P mitral berupa takik), hipertropi ventrikel kanan, fibrilasi atrium kronis.
4. Sinar X dada : Pembesaran ventrikel kanan dan atrium kiri, peningkatan vaskular, tanda-tanda kongesti/edema pulmunal.
5. Ekokardiogram : Dua dimensi dan ekokardiografi doppler dapat memastikan masalah katup. Pada stenosis mitral pembesaran atrium kiri, perubahan gerakan daun-daun katup.

G. KOMPLIKASI
Komplikasi dapat berat atau mengancam jiwa. Mitral stenosis biasanya dapat dikontrol dengan pengobatan dan membaik dengan valvuloplasty atau pembedahan. Tingkat mortalitas post operatif pada mitral commisurotomy adalah 1-2% dan pada mitral valve replacement adalah 2-5%. (7,9)
PROLAPS KATUP MITRAL (Mitral Valve Prolapse (MVP)
Regurgitasi mitral dapat terjadi pada pasien dengan penyakit jantung rematik, penyakit jantung iskemik, atau gagal jantung kongestif. Namun, penyebab terseringnya adalah prolaps katup mitral. Sekitar 2-5% dari populasi mengalami prolaps katup mitral. Sebagian besar ditemuka pada usia 20 sampai 40 tahun dan lebih sering mengnai perempuan. Pada Prolaps Katup Mitral (Mitral Valve Prolapse (MVP)), selama ventrikel berkontraksi, daun katup menonjol ke dalam atrium kiri, kadang-kadang memungkinkan terjadinya kebocoran (regurgitasi) sejumlah kecil darah ke dalam atrium. Penyakit ini ditandai dengan penimbunan substansi dasar longgar di dalam daun dan korda katup mitral, yang menyebabkan katup menjadi “floopy” dan inkompeten saat sistol. Prolaps katup mitral jarang menyebabkan masalah jantung yang serius. Namun, bisa menjadi penyulit sindrom Marfan atau penyakit jaringan ikat serupa, dan pernah dilaporkan sebagai penyakit dominan autosomal yang berkaitan dnegan kromosom 16p. Sebagian besar timbul sebagai kasus yang sporadik.


H. KLASIFIKASI
Berdasarkan luasnya area katup mitral derajat stenosis mitral sebagai berikut :
1. Minimal : bila area > 25 cm²
2. Ringan : Bila area 1,4 – 2,5 cm²
3. Sedang : Bila area 1 – 1,4 cm²
4. Berat : Bila area < 1,0 cm²
5. Reaktif : Bila area < 1,0 cm²
Keluhan dan gejala stenosis mitral mulai akan muncul bila luas area katup mitral menurun sampai seperdua normal ( <2-2,5 cm²).
Pada stenosis mitral yang ringan simptom yang muncul biasanya dicetuskan oleh faktor yang meningkatkan kecepatan aliran atau curah jantung, atau menurunkan periode pengisisan diastole, yang akan meningkatkan tekanan atrium kiri secara dramatis.

I. FAKTOR RESIKO

Faktor resiko pada prolaps katup mitral:
• Wanita kurus yang memiliki kelainan dinding dada, skoliosis atau penyakit lainnya .
• Penderita kelainan septum atrial yang letaknya tinggi pada dinding jantung (ostium sekundum).
• Kehamilan (karena menyebabkan meningkatnya volume darah dan beban kerja jantung).
• Kelelahan.

J. FUNGSI ADVOCAD
 Kita tetap menghargai keputusan klien akan tetapi kita juga perlu menjelaskan apa macam-macam pemeriksaan,. Usahakan klien mendapat peleyanan yang terbaik, inform concern juga perlu menjadi koreksi agar semua pihak tidak dirugikan
 Usahakan klien mendapat jamkesmas, jamkaskin, askin.

K. ETIK LEGAL
Dalam pemberian pelayanan kesehatan, sebagai perawat kita tidak boleh membeda-bedakan status sosial pasien. Perawat harus menerapkan prinsip justice. Selain itu, perawat juga harus memerapkan prinsip otonomi di mana harus menghargai penolakan klien atas tindakan yang akan dilakukan.


ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN
STENOSIS KATUP MITRAL

1. Pengkajian
ANAMNESE
a. Riwayat penyakit sekarang
1) Dyspnea atau orthopnea
2) Kelemahan fisik (lelah)
b. Riwayat medis
1) Adakah riwayat penyakit demam rematik/infeksi saluran pernafasan atas.
OBSERVASI
a. Gangguan mental : lemas, gelisah, tidak berdaya, lemah dan capek.
b. Gangguan perfusi perifer : Kulit pucat, lembab, sianosis, diaporesis.
c. Gangguan hemodenamik : tachycardia, bising mediastolik yang kasar, dan bunyi jantung satu yang mengeras, terdengar bunyi opening snap, mur-mur/S3, bunyi jantung dua dapat mengeras disertai bising sistole karena adanya hipertensi pulmunal, bunyi bising sistole dini dari katup pulmunal dapat terdengar jika sudah terjadi insufisiensi pulmunal, CVP, PAP, PCWP dapat meningkat, gambaran EKG dapat terlihat P mitral, fibrilasi artrial dan takikardia ventrikal.
d. Gangguan fungsi pulmunary : hyperpnea, orthopnea, crackles pada basal.

2. Diagnosa
1. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) b/d kurang pengetahuan; misinterpretasi informasi; keterbatasan kognitif; menyangkal diagnosa.
2. Pola nafas tidak efektif b/d penurunan ekspansi paru
3. Gangguan perfusi jaringan b/d penurunan sirkulasi darah perifer; penghentian aliran arteri-vena; penurunan aktifitas.
4. Penurunan curah jantung b/d adanya hambatan aliran darah dari atrium kiri ke ventrikel kiri, adanya takikardi ventrikel, pemendekan fase distolik
5. Intoleran aktifitas b/d adanya penurunan curah jantung, kongestif pulmunal.


DAFTAR PUSTAKA

• http://www.sidenreng.com/2010/08/stenosis-katup-mitral/
• http://dokterrizy.blogspot.com/2010/05/penyakit-katup-jantung-valvular-heart.html
• http://astaqauliyah.com/2007/07/case-report-mitral-stenosis/
• http://sehat-enak.blogspot.com/2010/04/stenosis-katup-mitral.html
• http://ifan050285.wordpress.com/2010/02/21/mitral-stenosis/

Asuhan Keperawatan Myocarditis

Myokarditis
A. Pengertian
Myocardium lapisan medial dinding jantung yang terdiri atas jaringan otot jantung yang sangat khusus (Brooker, 2001). Myocarditis adalah peradangan pada otot jantung atau miokardium. pada umumnya disebabkan oleh penyakit-penyakit infeksi, tetapi dapat sebagai akibat reaksi alergi terhadap obat-obatan dan efek toxin bahan-bahan kimia dan radiasi (FKUI, 1996). Myocarditis adalah peradangan dinding otot jantung yang disebabkan oleh infeksi atau penyebab lain sampai yang tidak diketahui (idiopatik) (Dorland, 2002).Miokarditis adalah inflamasi fokal atau menyebar dari otot jantung (miokardium) (Doenges, 1999). Indrus Alwi dalam Buku Ilmu Penyakit Dalam,2009 menyatakan miokarditis adalah penyakit inflamasi pada miokard yang bisa disebabkan karena infeksi akut atau respon autoimun pasca infeksi viral.
Pada sebagian besar, miokarditis tidak dapat diduga karena disfungsi jantung bersifat subklinis, asimtomatik dan sembuh sendiri (self limited) oleh karena miokarditis asimtomatik, maka data epidemiologi yang ada berasal dari penelitian pasca mortem. Pada pemeriksaan pasca mortem miokarditis ditemukan sekitar 1-9%, sehingga diduga miokarditis adalah penyebab utama kematian.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa myocarditis adalah peradangan/inflamasi otot jantung oleh berbagai penyebab terutama agen-agen infeksi yang dapat berakibat fatal bagi si penderita.

B. Etiologi
Miokarditis dapat disebabkan infeksi, reaksi alergi dan reaksi toksik.
1. Infeksi, hampir semua penyakit infeksi dapat menyebabkan miokarditis.
a. Infeksi bakterial  streptokokus, stafillococcus, meningococcus, hemofilus, salmonelosis.
b. Infeksi spiroketa  sifilis, leptospirosis,.
c. Infeksi jamur  aspergilosis, kandidiasis, kriptokokosis.
d. Infeksi parasit  sistiserkosis, tenia, toksoplamosis,
e. Infeksi virus  rabies, HIV, varicella, mumps, hepatitis, Cytomegali virus, dll
f. Infeksi rickettsia : scrub typus, rocky mountain spotted fever.
2. Reaksi alergi, berupa respon hipersensitivitas yang disebabkan obat-obatan:
a. Antibiotik
b. Sulfonamid
c. Anti kolvusan
d. Antiinflamasi
e. Diuretik
f. Vaksin
3. Reaksi toksin karena bahan-bahan tertentu seperti :
a. Bahan-bahan kimia : arsenik, timah
b. Anti neoplastik (anterferon alfa, anterleukin-2, siklofosfamid)
c. Bisa ular, laba-laba, kalajengking)
d. Radiasi, kokain.
C. Patofisiologi

Kerusakan miokard oleh kuman-kuman infeksius ini dapat melalui tiga mekanisme dasar:
1. Invasi langsung ke miokard.
2. Proses imunologis terhadap miokard.
3. Mengeluarkan toksin yang merusak miokard.

Proses miokarditis viral ada 2 tahap:
- Fase akut berlangsung kira-kira satu minggu, dimana terjadi invasi virus ke miokard, replikasi virus dan lisis sel. Kemudian terbentuk neutralizing antibody dan virus akan dibersihkan atau dikurangi jumlahnya dengan bantuan makrofag dan natural killer cell (sel NK).
- Pada fase berikutnya miokard diinfiltrasi oleh sel-sel radang dan system immune akan diaktifkan antara lain dengan terbentuknya antibody terhadap miokard, akibat perubahan permukaan sel yang terpajan oleh virus. Fase ini berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan dan diikuti kerusakan miokard dari yang minimal sampai yang berat (FKUI, 1996).
Perjalanan penyakit
D. Tanda dan gejala
1. Letih.
2. Napas pendek.
3. Detak jantung tidak teratur
4. Demam.
5. Gejala-gejala lain karena gangguan yang mendasarinya
(Griffith, 1994)
6. Menggigil
7. Demam
8. Anoreksia.
9. Nyeri dada.
10. Dispnea dan disritmia.
11. Tamponade ferikardial/kompresi (pada efusi perikardial)
(DEPKES, 1993).
12. Nyeri otot
13. Nyeri sendi
14. Malaise(kurang enak badan)
15. Syok kardiogenik.
(PDSPD,2009)
E. Klasifikasi
Bedasarkan gejala klinis dan boipsi endomiokardinal, miokarditis dapat dibagi atas :
1. Miokarditis akut
Biasanya orang-orang muda (umur sekitar 20-an), lebih banyak laki-laki dan pada umumnya didahului oleh riwayat infeksi virus. Perjalanan penyakit berlangsung kira-kira 8 minggu dan bagi yang mengalami payah jantung kongestif sebagian pasien akan meninggal atau mengalami perbaikan dan sembuh sempurna sesudah 6 bulan.
2. Rapidly progressive myokarditis
Terdapat pada orang-orang yang lebih tua (sekitar 35-an), juga lebih sering laki-laki, dengan gejala utama payah jantung kongestif yang progresif, aritmia teritama ventrikular. Berbeda dengan miokarditis akut, disini perjalanan penyakitnya berlangsung berbulan-bulan sampai bertahun-tahun dengan periode –periode kompensasi diselingi periode-periode payah jantung refrakter yang memerlukan perawatan. Kematian terjadi setelah 6 bulan dan sebagian besar akan meninggal setelah 3 tahun menderita.
3. Miokarditis kronik
Terdapat pada umur 30-an dan kebanyakan wanita. Perjalanan penyakitnya dimulai dengan episode payah jantung yang disusul dengan perbaikan klinis dengan disfungsi jantung yang tersisa.
F. Komplikasi
1. Kardiomiopati kongestif/dilated.
2. Payah jantung kongestif
3. Efusi perikardial.
4. AV block total.
5. Trombi Kardiac (FKUI, 1996).
G. Pengobatan
1. Semua pasien dengan miokarditis akut sebaiknya dirawat untuk diobservasi.
2. Dianjurkan tirah baring untuk pembatasan aktifitas.
3. Pengobatan biasanya suportif dan ditujukan pada penyakit infeksi sistemik.
4. Terapi spesifik dapat diberikan antibodi atau kemoterapeutik yang sesuai dngan penyebabnya.
5. Aritmia diobati dengan anti aritmia. Kadang-kadang diperlukan pemasangan pacu jantung.
6. Anti imflamasi nonsteroid, salisilat, ibuprofen, dan indometasin merupakan kontraindikasi pada fase akut (2 minggu pertama), tetapi cukup aman bila di kosumsi pada fase-dase lanjut. (FKUI,1996).


H. Prognosis :
1. Sebagian cepat sembuh cepat, kadang jadi kronis.
2. Prognosis buruk bila :
a. Umur muda, sering mati mendadak
b. Bentuk akut fulminan karena virus atau difteri
c. Miokarditis yang sangat progresif
d. Bentuk kronis yang berlanjut menjadi kardiomiopati
e. Penyakit chaga.
I. Faktor resiko
Penyakit ini dapat menyerang semua golongan umur. Ada yang menduga miokarditis terjadi 5-15% dari pasien dengan penyakit infeksi.(FKUI,1996). Demam reumatik sebagai penyebab miokarditis sering terdapat di negara-negara berkembang.
Faktor predisposisi diawali dengan penyakit-penyakit kelainan jantung dapat berupa penyakit jantung rematik, penyakit jantung bawaan, katub jantung prostetik, penyakit jantung sklerotik, prolaps katub mitral, post operasi jantung, miokardiopati hipertrof obstruksi.

J. Pemeriksaan Diagnostik
1. Laboratorium
o Leukositosis dengan polimorfunuklear atau limfosit dominan
o Laju endap darah biasanya meningkat.
o LDH, enzim jantung kreatin kinase atau laktat dehidrogenase dapat meningkat tergantung luasnya nekrosis miokard.
o Pengkatan ASTO dapat menunjukan adanya infeksi streptokokus.
2. Elektrokardiografi (EKG)
EKG hampir selalu abnormal pada pasien miokarditis. EKG paling sering menunjukan sinur takikardia. Lebih khas adalah perubahan ST-T. Dapat ditemukan perlambatan interval QTc, voltase rendah , dan bahkan pola infark miokard akut. Aritmia jantung juga sering ditemukan termasuk blok jantung total, takikardia ventrikular dan aritmia supravebtrikular terutama dengan adanya gagal jantung kongestif atau inflamasi perikard.
3. Ekokardiografi
Ekokardiografi dapat menunjukan disfungsi sistolik ventrikel kiri pada pasien dengan dimensi vebtrikel kiri yang berukuran normal. Trombus vebtrikel terdeteksi sekitar 15 persen. Gambaran ekokardiografi pada miokarditis aktif dapat meniru restriktif, hipertropik, atau kardiomiopati dilatasi.
4. Radionuclide Scanning dan Magnetic Resonance Imaging.
5. Biopsi Endomiokardial

K. Pengkajian
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara menyeluruh (Boedihartono, 1994 : 10). Pengkajian pasien myocarditis (Marilynn E. Doenges, 1999) meliputi :
1. Aktivitas / istirahat
Gejala : kelelahan, kelemahan.
Tanda : takikardia, penurunan tekanan darah, dispnea dengan aktivitas.
2. Sirkulasi
Gejala : riwayat demam rematik, penyakit jantung congenital, bedah jantung, palpitasi, jatuh pingsan.
Tanda : takikardia, disritmia, perpindaha titik impuls maksimal, kardiomegali, frivtion rub, murmur, irama gallop (S3 dan S4), edema, DVJ, petekie, hemoragi splinter, nodus osler, lesi Janeway.
3. Eliminasi
Gejala : riwayat penyakit ginjal/gagal ginjal ; penurunan frekuensi/jumlsh urine.
Tanda : urin pekat gelap.
4. Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala : nyeri pada dada anterior (sedang sampai berat/tajam) diperberat oleh inspirasi, batuk, gerakkan menelan, berbaring
Tanda : perilaku distraksi, misalnya gelisah.
5. Pernapasan
Gejala : napas pendek ; napas pendek kronis memburuk pada malam hari (miokarditis)
Tanda : dispnea, DNP (dispnea nocturnal paroxismal) ; batuk, inspirasi mengi ; takipnea, krekels, dan ronkhi ; pernapasan dangkal
6. Keamanan
Gejala : riwayat infeksi virus, bakteri, jamur (miokarditis ; trauma dada ; penyakit keganasan/iradiasi thorakal ; dalam penanganan gigi ; pemeriksaan endoskopik terhadap sitem GI/GU), penurunan system immune, SLE atau penyakit kolagen lainnya
Tanda : demam.
7. Penyuluhan / Pembelajaran
Gejala : terapi intravena jangka panjang atau pengguanaan kateter indwelling atau penyalahgunaan obat parenteral

L. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu penyatuan dari masalah pasien yang nyata maupun potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan (Boedihartono, 1994 : 17).
Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan myocarditis (Doenges, 1999) adalah :
1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi miokardium, efek-efek sistemik dari infeksi, iskemia jaringan.
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan inflamasi dan degenerasi sel-sel otot miokard, penurunan curah jantung.
3. Risiko tinggi terhadap penurunan curah jantung berhubungan dengan degenerasi otot jantung, penurunan/kontriksi fungsi ventrikel.
4. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi, rencana pengobatan berhubungan dengan kurang pengetahuan/daya ingat, mis- intepretasi informasi, keterbatasan kognitif, menyangkal diagnosa.
M. Rencana Intervensi dan Implementasi
Intervensi adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan (Boedihartono, 1994:20). Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Effendi, 1995:40). Intervensi dan implementasi keperawatan yang muncul pada pasien dengan myocarditis (Doenges, 1999).

1. Nyeri
 Tujuan : nyeri hilang atau terkontrol.
 Kriteria Hasil :
- Nyeri berkurang atau hilang
- Klien tampak tenang.
 Intervensi dan Implementasi :
o Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikan awitan dan faktor pemberat atau penurun. Perhatikan petunjuk nonverbal dari ketidaknyamanan, misalnya ; berbaring dengan diam/gelisah, tegangan otot, menangis.
R : pada nyeri ini memburuk pada inspirasi dalam, gerakkan atau berbaring dan hilang dengan duduk tegak/membungkuk.
o Berikan lingkungan yang tenang dan tindakan kenyamanan misalnya ; perubahan posisi, gosokkan punggung, penggunaan kompres hangat/dingin, dukungan emosional.
R : tindakan ini dapat menurunkan ketidaknyamanan fisik dan emosional pasien.
o Berikan aktivitas hiburan yang tepat.
R : mengarahkan kembali perhatian, memberikan distraksi dalam tingkat aktivitas individu.
o Kolaborasi pemberian obat-obatan sesuai indikasi (agen nonsteroid : aspirin, indocin ; antipiretik ; steroid)
R : dapat menghilangkan nyeri, menurunkan respons inflamasi, menurunkan demam ; steroid diberikan untuk gejala yang lebih berat.
o Kolaborasi pemberian oksigen suplemen sesuai indikasi
R : memaksimalkan ketersediaan oksigen untuk menurunkan beban kerja jantung

2. Intoleransi aktivitas
 Tujuan : pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas
 Kriteria hasil : - perilaku menampakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan diri.
- pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan beberapa aktivitas tanpa dibantu.
- Koordinasi otot, tulang dan anggota gerak lainya baik.
 Intervensi dan Implementasi :
o Kaji respons pasien terhadap aktivitas. Perhatikan adanya perubahan dan keluhan kelemahan, keletiahan, dan dispnea berkenaan dengan aktivitas.
R : miokarditis menyebabkan inflamasi dan kemungkinan kerusakan fungsi sel-sel miokardial.
o Pantau frekuensi/irama jantung, TD, dan frekuensi pernapasan sebelum dan setelah aktivitas dan selama diperlukan.
R : membantu menentukan derajat dekompensasi jantung dan pulmonal. Penurunan TD, takikardia, disritmia, dan takipnea adalah indikatif dari kerusakan toleransi jantung terhadap aktivitas.
o Pertahankan tirah baring selama periode demam dan sesuai indikasi.
R : meningkatkan resolusi inflamasi selama fase akut.
o Rencanakan perawatan dengan periode istirahat/tidur tanpa gangguan.
R : memberikan keseimbangan dalam kebutuhan dimana aktivitas bertumpu pada jantung.
o Bantu pasien dalam program latihan progresif bertahap sesegera mungkin untuk turun dari tempat tidur, mencatat respons tanda vital dan toleransi pasien pada peningkatan aktivitas.
R : saat inflamasi/kondisi dasar teratasi, pasien mungkin mampu melakukan aktivitas yang diinginkan, kecuali kerusakan miokard permanen/terjadi komplikasi.
o kolaborasi pemberian oksigen suplemen sesuai indikasi.
R : memaksimalkan ketersediaan oksigen untuk menurunkan beban kerja jantung

3. Risiko tinggi terhadap penurunan curah jantung
 Tujuan : mengidentifikasi perilaku untuk menurunkan beban kerja jantung.
 Kriteria Hasil : - melaporkan/menunjukkan penurunan periode dispnea, angina, dan disritmia.
- memperlihatkan irama dan frekuensi jantung stabil.
 Intervensi dan Implementasi :
o Pantau frekuensi/irama jantung, TD, dan frekuensi pernapasan sebelum dan setelah aktivitas dan selama diperlukan.
R : membantu menentukan derajat dekompensasi jantung dan pulmonal. Penurunan TD, takikardia, disritmia, dan takipnea adalah indikatif dari kerusakan toleransi jantung terhadap aktivitas.
o Pertahankan tirah baring dalam posisi semi-Fowler.
R : menurunkan beban kerja jantung, memaksimalkan curah jantung.
o Auskultasi bunyi jantung. Perhatikan jarak/muffled tonus jantung, murmur, gallop S3 dan S4.
R : memberikan deteksi dini dari terjadinya komplikasi misalnya : GJK, tamponade jantung.
o Berikan tindakan kenyamanan misalnya ; perubahan posisi, gosokkan punggung, dan aktivitas hiburan dalam tolerransi jantung.
R : meningkatkan relaksasi dan mengarahkan kembali perhatian

4. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar)
 Tujuan : menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan regimen pengobatan.
 Kriteria hasil : - mengidentifikasi efek samping obat dan kemungkinan komplikasi yang perlu diperhatikan.
- memperlihatan perubahan perilaku untuk mencegah komplikasi..
 Intervensi dan Implementasi :
o Kaji kesiapan dan hambatan dalam belajar termasuk orang terdekat.
R : Perasaan sejahtera yang sudah lama dinikmati mempengaruhi minat pasien/orang terdekat untuk mempelajari penyakit.
o Jelaskan efek inflamasi pada jantung, secara individual pada pasien. Ajarakkn untuk memperhatikan gejala sehubungan dengan komplikasi/berulangnya dan gejala yang dilaporkan dengan segera pada pemberi perawatan, contoh ; demam, peningkatan nyeri dada yang tak biasanya, peningkatan berat badan, peningkatan toleransi terhadap aktivitas.
R : untuk bertanggung jawab terhadap kesehatan sendiri, pasien perlu memahami penyebab khusus, pengobatan dan efek jangka panjang yang diharapkan dari kondisi inflamasi, sesuai dengan tanda/gejala yang menunjukan kekambuhan/komplikasi.
o Anjurkan pasien/orang terdekat tentang dosis, tujuan dan efek samping obat; kebutuhan diet ; pertimbangan khusus ; aktivitas yang diijinkan/dibatasi.
R : informasi perlu untuk meningkatkan perawatan diri, peningkatan keterlibatan pada program terapeutik, mencegah komplikasi.
o Kaji ulang perlunya antibiotic jangka panjang/terapy antimicrobial.
R : perawatan di rumah sakit lama/pemberian antibiotic IV/antimicrobial perlu
sampai kultur darah negative/hasil darah lain menunjukkan tak ada infeksi.
(Doenges,2000)

N. Evaluasi
Evaluasi adalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001).
Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan myocarditis (Doenges, 1999) adalah :
1. Nyeri hilang atau terkontrol
2. Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
3. Mengidentifikasi perilaku untuk menurunkan beban kerja jantung.
4. Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan regimen pengobatan.









ASUHAN KEPERAWATAN Ny.E DENGAN PENYAKIT MYOCARDITIS DI RUANG ANGGREK RUMAH SAKIT Y

Tanggal : 13 Oktober 2010 Pukul : 08.00 Oleh : Perawat X

A. PENGKAJIAN
1. IDENTITAS
a. Pasien
Nama : Ny. E
Jenis Kelamin : Wanita
Umur : 36 tahun
Status Perkawinan : Kawin
Alamat : Bantul
Tanggal MRS : 13 Oktober 2010
Diagnosa Medis : Myocarditis
b. Keluarga ( penanggungjawab)
Nama : Tn. B
Hubungan : Suami
Umur : 40 Tahun
Alamat : Bantul
2. RIWAYAT KESEHATAN
a. Keluhan Utama : Klien merasakan kelelahan dan terasa sesak napas, disertai jantung berdebar-debar.
b. Keluhan tambahan : Klien mengatakan terasa tidak nyaman di dada dan perut kuadran atas.
c. Alasan utama masuk rumah sakit :
d. Riwayat Penyakit Sekarang : Klien masuk ke rumah sakit Y tanggal 13 Oktober 2010 dengan keluhan merasakan kelelahan, sesak napas, dan jantung berdebar-debar. Selain itu klien juga merasakan tidak nyaman pada dada dan perut kuadran atas. Klien juga mengeluh demam, saat diukur vital sign : suhu per axillar : 37,90 C, TD : 110/70 mmHg, nadi : 110 x/menit, teratur, pernapasan : 25x/menit. Perawat melakukan pemeriksaan Thorax dan hasil auskultasi dada di dapatkan suara tambahan : friction rub dan adanya irama gallop. Ny. E dilakukan pemeriksaan laboratorium dengan hasil : nilai LED : 35 mm/jam dan nilai leukosit 25 ribu/ul
e. Riwayat Kesehatan Yang Lalu : pada tahu 2008 Ny. E pernah melakukan test alergi dan hasilnya positif terjadi reaksi hipersensitivitas. Klien juga sering menderita influensa.
f. Riwayat Kesehatan Keluarga






Keterangan:

: Pasien

: Laki-laki

: Perempuan

: Keluarga satu rumah
3. POLA AKTIVITAS SEHARI-HARI
a. Pola Tidur / Istirahat
Sebelum Sakit : mudah lelah saat beraktivitas
Tidur siang : -
Tidur malam : 5-6 jam/ hari
Kebiasaan pengantar tidur : membaca.
Saat Sakit : Tidur siang : -
Tidur malam : 2-3 jam/ hari
b. Pola Eliminasi
Sebelum Sakit
BAB
Frekuensi : 1x sehari
Waktu : pagi hari
Warna : kuning kecoklatan
Konsistensi : lembek
BAK
Frekuensi : 5-6 x sehari
Jumlah : 600cc/hari
Warna : kuning keruh
Bau : -
Saat Sakit
BAB
Frekuensi : 3 x sehari
Waktu : tidak tentu
Warna : coklat kehitaman
Konsistensi : encer
BAK
Frekuensi : 2-3 x / hari
Jumlah : 450-500 cc/ hari
Warna : pekat gelap
Bau : -
4. PEMERIKSAAN FISIK
a. TB : 157 cm
b. BB : 50 kg
c. Tanda-tanda Vital
- TD : 110/70 mmHg
- Suhu : 37,90C
- Nadi : 110 x /menit
- RR : 25 x /menit

d. Pemeriksaan Thorax dan Dada
- Inspeksi
warna kulit : sawo matang
konfigurasi : 2:1
lesi : -
- Palpasi
Nyeri : + di bagian kiri
Masa : -
- Perkusi
Batas jantung kiri : lineal sternalis dextra
Batas jantung kanan : medial klavikularis sinistra
Batas jantung atas : ICS 2
Batas jantung bawah : ICS 6
- Auskultasi
Suara jantung : friction rub dan irama gallop


5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium
Leukosit : 25 ribu/ UL
LED : 35 mm/jam


B. ANALISA DATA
No. Data Penunjang Masalah Kemungkinan Penyebab
1.
DO: - Demam
- 37,90C
DS: pasien mengatakan tidak nyaman di dada dan perut kuadran atas
Nyeri akut




inflamasi myocardium





2. DO : - TD: 110/70 mmHg, Nadi: 110 x /menit, RR: 25 x /menit


DS : klien merasakan kelelahan dan terasa sesak napas Intoleransi aktivitas Inflamasi dan degenerasi sel-sel myocard
3. DO : - TD: 110/70 mmHg, Nadi: 110 x /menit, RR: 25 x /menit
DS : klien merasakan kelelahan dan terasa sesak napas Risiko penurunan curah jantung Degenerasi otot jantung

DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi miokardium, ditandai oleh :
DS :
Klien mengatakan terasa tidak nyaman didada dan perut kuadran atas
DO :
- Demam
- Suhu : 37,90 per aksila

2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan inflamasi dan degenerasi sel-sel miokard, ditandai oleh :
DS :
Pasien mengatakan merasa kelelahan dan sesak nafas
DO :
- TD : 110/70 mmHg
- Nadi : 110x/mnt
- RR : 25x/mnt

3. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan degenerasi otot jantung, ditandai oleh :
DS :
Pasien mengatakan merasa kelelahan dan sesak nafas, disertai jantung terasa berdebar-debar
DO :
- TD : 110/70 mmHg
- Nadi : 110x/mnt
- RR : 25x/mnt

4. Kurang pengetahuan tentang kondisi / pengobatan berhubungan dengan kurang informasi tentang proses penyakit, ditandai oleh :
DS : -
DO : -




DAFTAR PUSTAKA
Boedihartono. 1994. Proses Keperawatan di Rumah Sakit. Jakarta.
Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan.Ed.31. EGC : Jakarta.
DEPKES. 1993. Proses Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem Kardiovaskuler. EGC : Jakarta.
Doenges, E. Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Ed. 3. EGC : Jakarta.
Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. EGC : Jakarta.
FKUI. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jilid 1.Ed.3. FKUI : Jakarta.
Griffith. 1994. Buku Pintar Kesehatan. Arcan : Jakarta.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Editor : Aru W.Sudoyo.Ilmu Penyakit Dalam.InternalPublishing : Jakarta

Asuhan Keperawatan Infark Miokard Akut

INFARK MIOKARD AKUT TANPA ELEVASI ST ( NSTMI )
A. Pengertian
secara klinis infark akut tanpa elevasi ST (NSTEMI) sangat mirip dengan angina tidak stabil. Yang membedakan adalah adanya enzym petanda jantung yang positif.
B. Patofisiologi
NSTEMI dapat disebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan atau peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena thrombosis akut atau vasokonstriksi koroner. Trombosis akut pada arteri koroner diawali dengan adanya ruptur plak yang tak stabil. Plak yang tidak stabil ini biasanya mempunyai inti lipid yang besar, densitas otot polos yang rendah, fibrous cap yang tipis dan konsentrasi faktor jaringan yang tinggi. Inti lemak yang yang cenderung ruptur mempunyai konsentrasi ester kolesterol dengan proporsi asam lemak tak jenuh yang tinggi. Pada lokasi ruptur plak dapat dijumpai sel makrofag dan limposit T yang menunjukkan adanya proses imflamasi. Sel-sel ini akan mengeluarkan sel sitokin proinflamasi seperti TNFa, dan IL-6. Selanjutnya IL-6 akan merangsang pengeluaran hsCRP di hati. (Sudoyo Aru W, 2006)
C. Manifestasi klinik
Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadang kala di epigastrium dengan ciri seperti diperas, perasaan seperti diikat, perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa penuh, berat atau tertekan, menjadi presentasi gejala yang sering ditemukan pada NSTEMI. Analisis berdasarkan gambaran klinis menunjukkan bahwa mereka yang memiliki gejala dengan onset baru angina/terakselerasi memiliki prognosis lebih baik dibandingkan dengan yang memiliki nyeri pada waktu istirahat. Walaupun gejala khas rasa tidak enak di dada iskemia pada NSTEMI telah diketahui dengan baik, gejala tidak khas seperti dispneu, mual, diaforesis, sinkop atau nyeri di lengan, epigastrium, bahu atas atau leher juga terjadi dalam kelompok yang lebih besar pada pasien-pasien berusia lebih dari 65 tahun.


D. Pada pemeriksaan Elektro Kardiogram (EKG)
Segmen ST merupakan hal penting yang menentukan risiko pada pasien. Pada Trombolysis in Myocardial (TIMI) III Registry, adanya depresi segmen ST baru sebanyak 0,05 mV merupkan prediktor outcome yang buruk. Kaul et al. menunjukkan peningkatan resiko outcome yang buruk meningkat secara progresif dengan memberatnya depresi segmen ST maupun perubahan troponin T keduanya memberikan tambahan informasi prognosis pasien-pasien dengan NSTEMI.
E. Pemeriksaan Laboratorium
Troponin T atau Troponin I merupakan pertanda nekrosis miokard lebih spesifik dari pada CK dan CKMB. Pada pasien IMA, peningkatan Troponin pada darah perifer setelah 3-4 jam dan dapat menetap sampai 2 minggu.
F. Stratifikasi Resiko
Penilaian klinis dan EKG, keduanya merupakan pusat utama dalam pengenalan dan penilaian risiko NSTEMI. Jika ditemukan resiko tinggi, maka keadaan ini memerlukan terapi awal yang segera. Karena NSTEMI merupakan penyakit yang heterogen dengan subgrup yang berbeda, maka terdapat keluaran tambahan yang berbeda pula. Penatalaksanaan sebaiknya terkait pada faktor resikonya,
G. Skor Resiko
Insiden keluaran yang buruk (kematian, (re) infark miokard, atau iskemia berat rekuren) pada 14 hari berkisar antara 5% dengan risiko 0-1, sampai 41% dengan skor risiko 6-7. Skor resiko ini berasal dari analisis pasien-pasien pada penelitian TIMI IIB dan telah divalidasi pada empat penelitian tambahan dan satu registry, terdapat banyak bukti yang menunjukkan disfungsi ginjal berhubungan dengan peningkatan resiko keluaran yang buruk. Beberapa penelitian seperti Platelet Receptor Inhibition Ischemic Syndrome Management in Patien Limited by Unstable Sign and Symptom (PRISM-PLUS). Treat Angina with Aggrastat and Determine Cost of Therapy with invasive or Conservative Strategy (TACTICS)-TIMI 18, DAN Global Use Strategies to Open Ocluded Coronary Arteries (GUSTO) IV-ACS, kesemunya menunjukkan pasien-pasien dengan kadar klirens kreatinin yang lebih rendah memiliki gambaran resiko yang lebih besar dan keluaran yang kurang baik. Walaupun strategi invasive banyak bermanfaat pada pasien disfungsi ginjal, namaun memiliki resiko perdarahan lebih banyak. Karena “molekul kecil” inhibitor GP IIb/IIIa dan LMWH diekskresikan lewat ginjal. (Sudoyo Aru W, 2006)
Newby et al. mendemonstrasikan bahwa strategi bedside menggunakan mioglobin, creatinin kinase MB dan Troponin I memberikan stratifikasi risiko yang lebih akurat dibandingkan jika menggunakan petanda tunggal berbasis laboratorium. Sabatin et al. Mempertimbangkan 3 faktor patofisiologi yang terjadi pada UA /NSTEMI yaitu :
- Ketidaksetabilan plak dan nekrosis otot yang terjadi akibat mikroembolisasi
- Inflamasi vaskuler
- Kerusakan ventrikel kiri
Masing-masing dapat dinilai secara independen berdasarkan penilaian terhadap petanda-petanda seperti cardiac-spesific troponin. C-reactive protein dan brain natriuretic peptide, berturut-turut. Pada penelitian TACTICS-TIMI 18, dimana resiko relative, mortalitas 30 hari pasien dengan bio marker 0, 1, 2, dan 3 semakin meningkat berkali lipat 1,2. 1,5. 7, dan 13,0 berturut-turut. Pendekatan petanda laboratorium sebaiknya tidak digunakan sendiri-sendiri tapi seharusnya dapat memperjelas penemuan klinis.
H. Penatalaksanaan
Harus Istirahat di tempat tidur dengan pemantauan EKG guna pemantauan segmen ST dan irama jantung.
Empat komponen utama terapi yang harus dipertimbangkan pada setiap pasien NSTEMI yaitu :
ร˜ Terapi antiiskemia
ร˜ Terapi anti platelet/antikoagulan
ร˜ Terapi invasive (kateterisasi dini/revaskularisasi),
ร˜ Perawatan sebelum meninggalkan RS dan sudah perawatan RS.


I. Terapi
a. Terapi Antiiskemia
o Nitrat ( ISDN )
o Penyekat Beta

Obat Selektivitas Aktivitas Agonis Parsial Dosis umum untuk Angina
Propranolol Tidak Tidak 20-80mg 2 kali sehari
Metoprolol Beta 1 Tidak 50-200mg 2 kali sehari
Atenolol Beta 1 Tidak 50-200mg/hari
Nadolol Tidak Tidak 40-80mg/hari
Timolol Tidak Tidak 10mg 2 kali sehari
Asebutolol Beta 1 Ya 200-600mg 2 kali sehari
Betaksolol Beta 1 Tidak 10-20mg/hari
Bisoprolol Beta 1 Tidak 10mg/hari
Esmolol (intravena) Beta 1 Tidak 50-300mcg/kg/menit
Labetalol Tidak Ya 200-600mg 2 kali sehari
Pindolol Tidak Ya 2,5-7,5mg 3 kali sehari
b. Terapi Antitrombotik
o Antitrombotik (Streptokinase, Urokinase, rt-PA)
c. Terapi Antiplatelet
o Antiplatelet (Aspirin, Klopidogrel, Antagonis Platelet GP IIb/IIIa)
d. Terapi Antikoagulan
o LMWH (low Molekuler weight Heparin)
e. Strategi Invasif dini vs Konservasif dini
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk membandingkan strategi invasif dini (arteriografi koroner dini dilanjutkan dengan revaskularisasi sebagaimana diindikasikan oleh temuan arteriografi) dengan strategi konservatif dini (kateterisasi dan jika diindikasikan revaskulaisasi, hanya pada yang mengalami kegagalan terhadap terapi oral/obat-obatan).
J. Perawatan untuk pasien resiko rendah
a. Tes stres noninvasif
b. Hasil tes menunjukkan gambaran resiko tinggi sebaiknya menjalani arteriografi koroner dan berdasarkan temuan anatomis, revaskularisasi dapat dilakukan
c. Arteriografi koroner dapat dipilih pada pasien-pasien tes positif tapi tanpa temuan risiko tinggi.
K. Tatalaksana Predischarge dan pencegahan sekunder
Tatalaksana terhadap faktor resiko antara lain :
ร˜ Mencapai berat badan optimal
ร˜ Nasehat diet
ร˜ Penghentian merokok
ร˜ Olah raga
ร˜ Pengontrolan Hipertensi
ร˜ Tatalaksana Diabetes Melitus dan deteksi Diabetes Melitus yang tidak dikenali sebelumnya








ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian.
a. Kualitas Nyeri dada : seperti terbakar, tercekik, rasa menyesakkan nafas atau seperti tertindih barang berat.
b. Lokasi dan radiasi : retrosternal dan prekordial kiri, radiasi menurun ke lengan kiri bawah dan pipi, dagu, gigi, daerah epigastrik dan punggung.
c. Faktor pencetus : mungkin terjadi saat istirahat atau selama kegiatan.
d. Lamanya dan faktor-faktor yang meringankan : berlangsung lama, berakhir lebih dari 20 menit, tidak menurun dengan istirahat, perubahan posisi ataupun minum Nitrogliserin.
e. Tanda dan gejala : Cemas, gelisah, lemah sehubungan dengan keringatan, dispnea, pening, tanda-tanda respon vasomotor meliputi : mual, muntah, pingsan, kulit dinghin dan lembab, cekukan dan stress gastrointestinal, suhu menurun.
f. Pemeriksaan fisik : mungkin tidak ada tanda kecuali dalam tanda-tanda gagalnya ventrikel atau kardiogenik shok terjadi. BP normal, meningkat atau menuirun, takipnea, mula-mula pain reda kemudian kembali normal, suara jantung S3, S4 Galop menunjukan disfungsi ventrikel, sistolik mur-mur, M. Papillari disfungsi, LV disfungsi terhadap suara jantung menurun dan perikordial friksin rub, pulmonary crackles, urin output menurun, Vena jugular amplitudonya meningkat ( LV disfungsi ), RV disfungsi, ampiltudo vena jugular menurun, edema periver, hati lembek.
g. Parameter Hemodinamik : penurunan PAP, PCWP, SVR, CO/CI.

2. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan iskemia jaringan sekunder terhadap sumbatan arteri.
2. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan factor-faktor listrik, penurunan karakteristik miokard.
3. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan , iskemik, kerusakan otot jantung,
penyempitan / penyumbatan pembuluh darah arteri koronaria.
4. Resiko kelebihan volume cairan ekstravaskuler berhubungan dengan penurunan perfusi.
ginjal, peningkatan natrium / retensi air , peningkatan tekanan hidrostatik, penurunan
protein plasma.
5. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan aliran darah ke alveoli atau
kegagalan utama paru, perubahan membran alveolar- kapiler ( atelektasis , kolaps jalan
nafas/ alveolar edema paru/efusi, sekresi berlebihan / perdarahan aktif ).
6. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen miocard
dan kebutuhan, adanya iskemik/ nekrotik jaringan miocard ditandai dengan gangguan
frekuensi jantung, tekanan darah dalam aktifitas, terjadinya disritmia, kelemahan umum
7. Cemas berhubungan dengan ancaman aktual terhadap integritas biologis
8. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang fungsi jantung /
implikasi penyakit jantung dan status kesehatan yang akan datang , kebutuhan perubahan
pola hidup ditandai dengan pernyataan masalah, kesalahan konsep, pertanyaan, terjadinya
komplikasi yang dapat dicegah.

3. Intervensi (Nursing Care Plan)
1. Nyeri berhubungan dengan iskemia jaringan sekunder terhadap sumbatan arteri ditandai dengan :
ร˜ nyeri dada dengan / tanpa penyebaran
ร˜ wajah meringis
ร˜ gelisah
ร˜ delirium
ร˜ perubahan nadi, tekanan darah.
Tujuan :
Nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan perawatan selama di RS
Kriteria Hasil:
ร˜ Nyeri dada berkurang misalnya dari skala 3 ke 2, atau dari 2 ke 1
ร˜ ekpresi wajah rileks / tenang, tak tegang
ร˜ tidak gelisah
ร˜ nadi 60-100 x / menit,
ร˜ TD 120/ 80 mmHg
Intervensi :
ร˜ Observasi karakteristik, lokasi, waktu, dan perjalanan rasa nyeri dada tersebut.
ร˜ Anjurkan pada klien menghentikan aktifitas selama ada serangan dan istirahat.
ร˜ Bantu klien melakukan tehnik relaksasi, mis; nafas dalam, perilaku distraksi, visualisasi, atau bimbingan imajinasi.
ร˜ Pertahankan Olsigenasi dengan bikanul contohnya ( 2-4 L/ menit )
ร˜ Monitor tanda-tanda vital ( Nadi & tekanan darah ) tiap dua jam.
ร˜ Kolaborasi dengan tim kesehatan dalam pemberian analgetik.
2. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan factor-faktor listrik, penurunan karakteristik miokard
Tujuan :
Curah jantung membaik / stabil setelah dilakukan tindakan keperawatan selama di RS
Kriteria Hasil :
ร˜ Tidak ada edema
ร˜ Tidak ada disritmia
ร˜ Haluaran urin normal
ร˜ TTV dalam batas normal
Intervensi :
ร˜ Pertahankan tirah baring selama fase akut
ร˜ Kaji dan laporkan adanya tanda – tanda penurunan COP, TD
ร˜ Monitor haluaran urin
ร˜ Kaji dan pantau TTV tiap jam
ร˜ Kaji dan pantau EKG tiap hari
ร˜ Berikan oksigen sesuai kebutuhan
ร˜ Auskultasi pernafasan dan jantung tiap jam sesuai indikasi
ร˜ Pertahankan cairan parenteral dan obat-obatan sesuai advis
ร˜ Berikan makanan sesuai diitnya
ร˜ Hindari valsava manuver, mengejan ( gunakan laxan )
3. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan , iskemik, kerusakan otot jantung, penyempitan / penyumbatan pembuluh darah arteri koronaria ditandai dengan :
ร˜ Daerah perifer dingin
ร˜ EKG elevasi segmen ST & Q patologis pada lead tertentu
ร˜ RR lebih dari 24 x/ menit
ร˜ Kapiler refill Lebih dari 3 detik
ร˜ Nyeri dada
ร˜ Gambaran foto torak terdpat pembesaran jantung & kongestif paru ( tidak selalu )
ร˜ HR lebih dari 100 x/menit, TD > 120/80AGD dengan : pa O2 <>2 > 45 mmHg dan Saturasi <>
ร˜ Nadi lebih dari 100 x/ menit
ร˜ Terjadi peningkatan enzim jantung yaitu CK, AST, LDL/HDL
Tujuan :
Gangguan perfusi jaringan berkurang / tidak meluas selama dilakukan tindakan perawatan di RS.
Kriteria Hasil:
ร˜ Daerah perifer hangat
ร˜ tak sianosis
ร˜ gambaran EKG tak menunjukan perluasan infark
ร˜ RR 16-24 x/ menit
ร˜ tak terdapat clubbing finger
ร˜ kapiler refill 3-5 detik
ร˜ nadi 60-100x / menit
ร˜ TD 120/80 mmHg
Intervensi :
ร˜ Monitor Frekuensi dan irama jantung
ร˜ Observasi perubahan status mental
ร˜ Observasi warna dan suhu kulit / membran mukosa
ร˜ Ukur haluaran urin dan catat berat jenisnya
ร˜ Kolaborasi : Berikan cairan IV l sesuai indikasi
ร˜ Pantau Pemeriksaan diagnostik / dan laboratorium mis EKG, elektrolit , GDA( Pa O2, Pa CO2 dan saturasi O2 ). Dan Pemberian oksigen
4. Resiko kelebihan volume cairan ekstravaskuler berhubungan dengan penurunan perfusi ginjal, peningkatan natrium / retensi air , peningkatan tekanan hidrostatik, penurunan protein plasma.
Tujuan :
Keseimbangan volume cairan dapat dipertahankan selama dilakukan tindakan keperawatan selama di RS
Kriteria Hasil :
ร˜ tekanan darah dalam batas normal
ร˜ tak ada distensi vena perifer/ vena dan edema dependen
ร˜ paru bersih
ร˜ berat badan ideal ( BB idealTB –100 ± 10 %)
Intervensi :
ร˜ Ukur masukan / haluaran, catat penurunan , pengeluaran, sifat konsentrasi, hitung keseimbangan cairan
ร˜ Observasi adanya oedema dependen
ร˜ Timbang BB tiap hari
ร˜ Pertahankan masukan total caiaran 2000 ml/24 jam dalam toleransi kardiovaskuler
ร˜ Kolaborasi : pemberian diet rendah natrium, berikan diuetik.
5. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan aliran darah ke alveoli atau kegagalan utama paru, perubahan membran alveolar- kapiler ( atelektasis , kolaps jalan nafas/ alveolar edema paru/efusi, sekresi berlebihan / perdarahan aktif ) ditandai dengan :
ร˜ Dispnea berat
ร˜ Gelisah
ร˜ Sianosis
ร˜ perubahan GDA
ร˜ hipoksemia
Tujuan :
Oksigenasi dengan GDA dalam rentang normal (pa O2 <>2 > 45 mmHg dan Saturasi <>
Kriteria hasil :
ร˜ Tidak sesak nafas
ร˜ tidak gelisah
ร˜ GDA dalam batas Normal ( pa O2 <>2 > 45 mmHg dan Saturasi <>
Intervensi :
ร˜ Catat frekuensi & kedalaman pernafasan, penggunaan otot Bantu pernafasan
ร˜ Auskultasi paru untuk mengetahui penurunan / tidak adanya bunyi nafas dan adanya bunyi tambahan misal krakles, ronki dll.
ร˜ Lakukan tindakan untuk memperbaiki / mempertahankan jalan nafas misalnya , batuk, penghisapan lendir dll.
ร˜ Tinggikan kepala / tempat tidur sesuai kebutuhan / toleransi pasien
ร˜ Kaji toleransi aktifitas misalnya keluhan kelemahan/ kelelahan selama kerja atau tanda vital berubah.
6. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen miocard dan kebutuhan, adanya iskemik/ nekrotik jaringan miocard ditandai dengan gangguan frekuensi jantung, tekanan darah dalam aktifitas, terjadinya disritmia, kelemahan umum
Tujuan :
Terjadi peningkatan toleransi pada klien setelah dilaksanakan tindakan keperawatan selama di RS
Kriteria Hasil :
ร˜ klien berpartisipasi dalam aktifitas sesuai kemampuan klien
ร˜ frekuensi jantung 60-100 x/ menit
ร˜ TD 120-80 mmHg
Intervensi :
ร˜ Catat frekuensi jantung, irama, dan perubahan TD selama dan sesudah aktifitas
ร˜ Tingkatkan istirahat ( di tempat tidur )
ร˜ Batasi aktifitas pada dasar nyeri dan berikan aktifitas sensori yang tidak berat.
ร˜ Jelaskan pola peningkatan bertahap dari tingkat aktifitas, contoh bengun dari kursi bila tidak ada nyeri, ambulasi dan istirahat selam 1 jam setelah mkan.
ร˜ Kaji ulang tanda gangguan yang menunjukan tidak toleran terhadap aktifitas atau memerlukan pelaporan pada dokter.
7. Cemas berhubungan dengan ancaman aktual terhadap integritas biologis
Tujuan :
cemas hilang / berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan selama di RS
Kriteria Hasil :
ร˜ Klien tampak rileks
ร˜ Klien dapat beristirahat
ร˜ TTV dalam batas normal
Intervensi :
ร˜ Kaji tanda dan respon verbal serta non verbal terhadap ansietas
ร˜ Ciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman
ร˜ Ajarkan tehnik relaksasi
ร˜ Minimalkan rangsang yang membuat stress
ร˜ Diskusikan dan orientasikan klien dengan lingkungan dan peralatan
ร˜ Berikan sentuhan pada klien dan ajak kllien berbincang-bincang dengan suasana tenang
ร˜ Berikan support mental
ร˜ Kolaborasi pemberian sedatif sesuai indikasi
8. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang fungsi jantung / implikasi penyakit jantung dan status kesehatan yang akan datang , kebutuhan perubahan pola hidup ditandai dengan pernyataan masalah, kesalahan konsep, pertanyaan, terjadinya komplikasi yang dapat dicegah
Tujuan :
Pengetahuan klien tentang kondisi penyakitnya menguat setelah diberi pendidikan kesehatan selama di RS
Kriteria Hasil :
ร˜ Menyatakan pemahaman tentang penyakit jantung , rencana pengobatan, tujuan pengobatan & efek samping / reaksi merugikan
ร˜ Menyebutkan gangguan yang memerlukan perhatian cepat.
Intervensi :
ร˜ Berikan informasi dalam bentuk belajar yang berfariasi, contoh buku, program audio/ visual, Tanya jawab dll.
ร˜ Beri penjelasan factor resiko, diet ( Rendah lemak dan rendah garam ) dan aktifitas yang berlebihan,
ร˜ Peringatan untuk menghindari paktifitas manuver valsava
ร˜ Latih pasien sehubungan dengan aktifitas yang bertahap contoh : jalan, kerja, rekreasi aktifitas seksual.




DAFTAR PUSTAKA
Hazinski Mary Fran (2004), Handbook of Emergency Cardiovaskuler Care for Healthcare Providers, AHA, USA
Joewono Budi Prasetyo (2003), Ilmu Penyakit Jantung, Airlangga University Press, Surabaya
Joyce Levefer (1997), Buku Saku Pemeriksaan Labotatorium dan Diagnostik dengan Implikasi Keperawatan, EGC, Jakarta
Kalim Harmani, dkk (2004), Tatalaksana Sindrom Koroner Akut Tanpa ST Elevasi, PERKI
Pratanu Sunoto (2000), Kursus EKG, PT Karya Pembina Swajaya, Surabaya
Ruhyanudin Faqih (2006), Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem Kardiovaskuler, UMM Press, Malang
Woods Susan L (2005), Cardiac Nursing 5th edition, Lippincott Williams and Walkins, USA
Sudoyo Aru W , Setiyohadi B dkk,Juni 2006 “Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam” Edisi ke Empat-Jilid III

Asuhan Keperawatan Atrioventrikuler Canal Defect

Pengertian
Atrioventrikular defek septum (AVSD) atau cacat saluran atrioventrikular (AVCD), sebelumnya dikenal sebagai "kanal atrioventrikular umum" (CAVC) atau " bantal endocardial cacat ", dicirikan oleh kekurangan dari septum atrioventrikular dari jantung . Hal ini disebabkan oleh atau tidak memadai fusi abnormal dari atasan dan inferior bantal endocardial dengan bagian tengah dari septum atrium dan bagian otot dari septum ventrikel .
Gejala
Ada dua jenis umum cacat saluran atrioventrikular - parsial dan lengkap. Bentuk parsial hanya melibatkan dua kamar atas jantung. Bentuk lengkap memungkinkan darah untuk bepergian dengan bebas di antara semua empat ruang jantung. Pada tipe baik, darah ekstra beredar di paru-paru.
Complete atrioventricular canal defect
Tanda dan gejala cacat kanal lengkap atrioventrikular biasanya berkembang pada beberapa minggu pertama kehidupan, yaitu termasuk:
• Kesulitan bernapas (dispnea)
• Kurangnya nafsu makan
• Kekurangan berat badan
• Perubahan warna kebiruan pada bibir dan kulit (sianosis)
Jika bayi Anda memiliki cacat kanal lengkap atrioventrikular, dia juga dapat mengembangkan tanda dan gejala gagal jantung, termasuk:
• Kelelahan
• Wheezing/ Mengi
• Pembengkakan (edema) pada kaki, pergelangan kaki dan kaki
• Tiba-tiba berat badan dari retensi cairan
• Excessive sweating Berkeringat berlebihan
• Penurunan kewaspadaan
• Detak jantung tidak teratur atau cepat
Cacat sebagian kanal atrioventrikular
Tanda dan gejala kerusakan parsial atrioventrikular kanal mungkin tidak muncul sampai awal masa dewasa. Ketika mereka menjadi nyata, tanda dan gejala mungkin berhubungan dengan komplikasi yang berkembang sebagai akibat dari cacat, dan mungkin termasuk:
• Detak jantung abnormal (aritmia)
• Kegagalan jantung
• Tekanan darah tinggi di paru-paru (hipertensi pulmonal)

Penyebab


Chambers dan katup jantung


Atrioventricular canal defect


cacat saluran atrioventrikular terjadi selama pertumbuhan janin saat jantung bayi Anda berkembang. Sedangkan beberapa faktor, seperti sindrom Down, dapat meningkatkan risiko cacat saluran atrioventrikular, dalam banyak kasus penyebabnya tidak diketahui.
Fungsi jantung yang normal
Jantung Anda dibagi menjadi empat ruang, dua di sebelah kanan dan dua di sebelah kiri. Dalam melakukan pekerjaan dasar - memompa darah ke seluruh tubuh - jantung anda menggunakan sisi kiri dan kanan untuk tugas yang berbeda. Sisi kanan bergerak ke dalam pembuluh darah yang mengarah ke paru-paru Anda. Dalam paru-paru, oksigen memperkaya darah Anda, yang beredar ke sisi kiri jantung. Sisi kiri jantung memompa darah Anda menjadi sebuah kapal besar yang disebut aorta, yang beredar darah ke seluruh tubuh Anda. Katup mengontrol aliran darah ke dalam dan keluar dari ruang jantung Anda. Katup ini terbuka untuk memungkinkan darah untuk pindah ke ruang berikutnya atau ke salah satu arteri, dan mereka menutup untuk menjaga darah mengalir ke belakang.
Sebuah lubang di dinding
Dalam kanal parsial atrioventrikular cacat, ada lubang di dinding (septum) yang memisahkan ruang atas (atrium) jantung. Juga, katup mitral antara bilik kiri atas dan bawah tidak mungkin akan menutup sepenuhnya (regurgitasi katup mitral).
Dalam kanal lengkap atrioventrikular cacat, ada lubang besar di tengah jantung dimana dinding antara bilik yang di atas (atrium) dan ruang bawah (ventrikel) bertemu. Daripada dua katup terpisah - satu di sebelah kanan (trikuspid) dan satu di sebelah kiri (mitral) - satu katup umum yang besar ada antara atas dan ruang bawah. Dan, katup ini tidak mungkin akan menutup rapat.
Oksigen-kaya dan miskin oksigen darah campuran melalui lubang di septum, dan darah katup abnormal bocor ke ruang bawah jantung (ventrikel). Masalah-masalah ini membuat jantung bekerja lebih keras, menyebabkan ia untuk memperbesar.


Klasifikasi
Berbagai klasifikasi yang berbeda telah digunakan, tetapi gangguan yang berguna dipecah dalam bentuk "parsial" dan "lengkap".
• Dalam AVSD parsial, ada cacat di bagian quaeritur atau inferior dari septum atrium tapi tidak ada komunikasi intraventricular langsung ( ostium cacat quaeritur ).
• Dalam AVSD lengkap (CAVSD), ada komponen ventrikel besar di bawah salah satu atau kedua selebaran bridging tinggi atau lebih rendah dari katup AV. Cacat melibatkan seluruh wilayah persimpangan ruang atas dan bawah dari jantung, yaitu dimana atrium bergabung dengan ventrikel. Ada lubang besar antara bagian bawah atrium dan `atas atau masuk 'sebagian dari ventrikel dan ini dikaitkan dengan kelainan yang signifikan dari katup memisahkan atrium dari ventrikel. Katup yang berlaku menjadi katup atrio-ventricular umum, dan tingkat keparahan cacat sangat tergantung pada lampiran pendukung katup ke ventrikel dan apakah katup memungkinkan aliran dominan dari atrium kanan ke ventrikel kanan dan dari atrium kiri ke kiri ventrikel. Masalah secara keseluruhan sangat mirip dengan VSD tetapi lebih rumit. Ada peningkatan aliran darah ke paru-paru melalui kedua komponen ventrikel dan atrium yang cacat. Selain itu, katup atrio-ventricular abnormal selalu kebocoran, sehingga ketika kontrak ventrikel, darah mengalir bukan hanya ke depan untuk tubuh dan paru-paru, tetapi juga mundur ke atrium. Efek back-tekanan pada atrium penyebab kemacetan darah di atrium kiri pada khususnya, dan ini pada gilirannya menyebabkan kemacetan di vena pengeringan paru-paru. Pengaruh pada bayi adalah untuk memperburuk gagal jantung yang berhubungan dengan VSD terisolasi dan untuk mempercepat terjadinya hipertensi paru. Perlu disebutkan bahwa CAVSD ditemukan di sekitar sepertiga dari bayi yang mengalami sindrom Down, tetapi juga terjadi sebagai kelainan terisolasi.
Pathophysiogy
Jika ada cacat dalam septum, adalah mungkin untuk darah untuk perjalanan dari sisi kiri jantung ke sisi kanan jantung, atau sebaliknya. Karena sisi kanan jantung mengandung darah vena dengan kandungan oksigen rendah, dan sisi kiri jantung mengandung darah arteri dengan kandungan oksigen tinggi, bermanfaat untuk mencegah komunikasi antara kedua sisi jantung dan mencegah darah dari dua sisi jantung dari pencampuran satu sama lain.

kondisi Asosiasi
Jenis cacat jantung kongenital dikaitkan dengan pasien dengan sindrom Down (trisomi 21) atau sindrom heterotaxy. [1] Empat puluh lima persen anak-anak dengan sindrom Down memiliki penyakit jantung bawaan. Dari jumlah tersebut, 35-40% memiliki cacat septum AV. [2] Demikian pula, sepertiga dari seluruh anak yang lahir dengan AVSDs juga memiliki sindrom Down. [3]
Diagnosis
AVSDs dapat dideteksi dengan auskultasi jantung , mereka menyebabkan murmur atipikal dan nada keras hati. [4] Konfirmasi temuan dari auskultasi jantung dapat diperoleh dengan jantung USG ( echocardiography - kurang invasif) dan kateterisasi jantung (lebih invasif).
Tentatif Diagnosis juga dapat dibuat dalam rahim melalui echocardiogram janin. Diagnosis AVSD dibuat sebelum kelahiran merupakan penanda untuk sindrom Down, meskipun tanda-tanda lainnya dan menguji lebih lanjut diperlukan sebelum konfirmasi definitif baik dapat dibuat.
Pengobatan
Pengobatan bedah dan melibatkan penutupan cacat septum atrium dan ventrikel dan restorasi dari katup AV yang kompeten kiri sejauh mungkin. Bedah prosedur Buka memerlukan -paru mesin jantung dan dilakukan dengan sternotomy median . endovascular Percutaneous prosedur yang kurang invasif dan dapat dilakukan pada jantung berdetak, tapi hanya cocok untuk pasien tertentu. Bedah kematian di pusat-pusat mengalami kurang dari 10 persen untuk cacat lengkap dan kurang dari 5 persen untuk cacat parsial. [5]
Bayi lahir dengan AVSD umumnya di bidang kesehatan yang memadai untuk tidak memerlukan operasi perbaikan segera. Jika operasi tidak diperlukan segera setelah lahir, bayi baru lahir akan diawasi secara ketat untuk beberapa bulan mendatang, dan operasi yang diadakan-off sampai tanda-tanda pertama marabahaya paru-paru atau gagal jantung. Hal ini memberikan waktu bayi untuk tumbuh, meningkatkan ukuran, dan dengan demikian kemudahan operasi pada, jantung, serta kemudahan pemulihan. Bayi umumnya akan memerlukan operasi dalam waktu tiga sampai enam bulan, bagaimanapun, mereka mungkin dapat pergi ke dua tahun sebelum operasi menjadi perlu, tergantung pada beratnya cacat. [6]
Faktor risiko
Meskipun penyebab pasti cacat kanal atrioventrikular tidak diketahui, beberapa faktor dapat meningkatkan risiko cacat jantung bawaan, seperti:
• Down syndrome adalah suatu kondisi genetik yang dihasilkan dari kromosom 21 ekstra.
• Campak Jerman (rubella) atau penyakit virus lainnya selama awal kehamilan.
• Memiliki orangtua yang memiliki cacat jantung bawaan.
• Minum alkohol terlalu banyak selama kehamilan.
• Tidak terkontrol diabetes selama kehamilan.
• Mengambil beberapa jenis obat, seperti obat jerawat isotretinoin (Accutane), selama kehamilan. Periksa dengan dokter Anda sebelum minum obat-obatan saat Anda sedang hamil dan bahkan ketika Anda mencoba untuk hamil.
Komplikasi
Memperlakukan cacat kanal atrioventrikular membantu anak Anda menghindari komplikasi potensial, seperti:
• Pneumonia Jika bayi Anda memiliki cacat atrioventrikular kanal tidak diobati, ia mungkin telah buti berulang pneumonia - infeksi paru-paru serius.
• Pembesaran jantung (cardiomegaly).. Peningkatan aliran darah melalui jantung memaksanya untuk bekerja lebih keras daripada biasanya, menyebabkan itu untuk memperbesar
• Gagal jantung tidak diobati, cacat saluran atrioventrikular biasanya akan mengakibatkan gagal jantung - suatu kondisi dimana jantung tidak dapat memompa darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh.
• Tekanan darah tinggi di paru-paru (hipertensi pulmonal). Kapan ventrikel kiri jantung melemah dan tidak dapat memompa cukup darah, peningkatan tekanan punggung melalui pembuluh darah paru ke arteri di paru-paru, menyebabkan tekanan darah tinggi di paru-paru .
Perawatan dan obat-obatan
Pembedahan diperlukan untuk memperbaiki kedua cacat kanal lengkap dan parsial atrioventrikular. Selama prosedur ini, lubang pada septum tertutup menggunakan satu atau dua patch. tetap di jantung secara permanen, menjadi bagian dari septum sebagai pelapis jantung tumbuh di atasnya.
Untuk cacat kanal atrioventrikular parsial, operasi juga melibatkan perbaikan katup mitral maka akan menutup rapat. Jika perbaikan tidak mungkin, katup mungkin perlu diganti sebagai gantinya.
Jika bayi Anda memiliki cacat kanal lengkap atrioventrikular, operasi juga mencakup pemisahan dari katup tunggal menjadi dua katup, satu di sisi kiri dan satu di sisi kanan septum diperbaiki. Jika rekonstruksi katup tunggal menjadi dua katup tidak memungkinkan, penggantian katup jantung mungkin diperlukan.
Setelah operasi
Jika cacat saluran atrioventrikular telah berhasil diperbaiki dengan pembedahan, anak Anda mungkin akan menjalani hidup normal, seringkali tanpa batasan aktivitas.
Namun, anak Anda akan membutuhkan seumur hidup follow-up care dengan dokter jantung (kardiolog) yang mengkhususkan diri dalam penyakit jantung bawaan. Rekomendasi untuk tindak lanjut biasanya sekali setahun, kecuali jika Anda memiliki masalah berlama-lama, seperti katup jantung bocor. Dalam kasus ini, tindak lanjut akan lebih sering.
Anak Anda juga mungkin perlu minum antibiotik pencegahan sebelum prosedur gigi tertentu dan prosedur bedah lainnya jika ia berada pada risiko komplikasi parah endokarditis, infeksi bakteri pada lapisan jantung. Biasanya, ini adalah ketika anak Anda memiliki beberapa cacat yang tersisa setelah operasi, telah menerima katup buatan atau telah mengalami perbaikan dengan buatan (palsu) material.
Banyak orang yang menjalani operasi korektif untuk cacat saluran atrioventrikular tidak membutuhkan operasi tambahan. Namun, beberapa komplikasi, seperti kebocoran katup jantung, mungkin memerlukan pengobatan.
Kehamilan
Ketika sebuah cacat saluran atrioventrikular telah diperbaiki melalui pembedahan sebelum kerusakan paru permanen telah terjadi, perempuan umumnya dapat berharap untuk memiliki kehamilan normal. Kehamilan tidak dianjurkan, namun, jika jantung serius atau kerusakan paru-paru terjadi sebelum operasi. Sebuah evaluasi oleh kardiolog disarankan sebelum perempuan dengan cacat saluran kehamilan diperbaiki atau diperbaiki upaya atrioventrikular.
Diagnosa Keperawatan Utama Yang Akan Dibahas
a. Penurunan curah jantung b/d adanya hambatan aliran darah dari atrium kiri ke ventrikel kiri, adanya takikardi ventrikel, pemendekan fase distolik
b. Gangguan perfusi jaringan b/d penurunan sirkulasi darah perifer; penghentian aliran arteri-vena; penurunan aktifitas.
c. Intoleran aktifitas b/d adanya penurunan curah jantung, kongestif pulmunal.
d. Resiko kelebihan volume cairan b/d adanya perpindahan tekanan pada kongestif vena pulmonal; Penurunan perfusi organ (ginjal); peningaktan retensi natrium/air; peningakatn tekanan hidrostatik atau penurunan protein plasma (menyerap cairan dalam area interstitial/jaringan).
e. Resiko kerusakan pertukaran gas b/d perubahan membran kapiler-alveolus (perpindahan cairan ke dalam area interstitial/alveoli).
4. Rencana Intervensi dan Rasional
a. Penurunan curah jantung b/d adanya hambatan aliran darah dari atrium kiri ke ventrikel kiri, adanya takikardi ventrikel, pemendekan fase distolik.
Tujuan: Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 hari, penurunan curah jantung dapat diminimalkan.
Kriteria hasil: Vital sign dalam batas normal, Gambaran ECG normal, bebas gejala gagal jantung, urine output adekuat 0,5-2 ml/kgBB, klien ikut serta dalam aktifitas yang mengurangi beban kerja jantung.
Rencana intervensi dan rasional:
Intervensi Rasional
• Kaji frekuensi nadi, RR, TD secara teratur setiap 4 jam.
• Catat bunyi jantung.
• Kaji perubahan warna kulit terhadap sianosis dan pucat.
• Pantau intake dan output setiap 24 jam.
• Batasi aktifitas secara adekuat.
• Berikan kondisi psikologis lingkungan yang tenang. • Memonitor adanya perubahan sirkulasi jantung sedini mungkin.
• Mengetahui adanya perubahan irama jantung.
• Pucat menunjukkan adanya penurunan perfusi perifer terhadap tidak adekuatnya curah jantung. Sianosis terjadi sebagai akibat adanya obstruksi aliran darah pada ventrikel.
• Ginjal berespon untuk menurunkna curah jantung dengan menahan produksi cairan dan natrium.
• Istirahat memadai diperlukan untuk memperbaiki efisiensi kontraksi jantung dan menurunkan komsumsi O2 dan kerja berlebihan.
• Stres emosi menghasilkan vasokontriksi yang meningkatkan TD dan meningkatkan kerja jantung.
b. Gangguan perfusi jaringan b/d penurunan sirkulasi darah perifer; penghentian aliran arteri-vena; penurunan aktifitas.
Tujuan: Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 hari perfusi jaringan adekuat.
Kriteria hasil: vital sign dalam batas yang dapat diterima, intake output seimbang, akral teraba hangat, sianosis (-), nadi perifer kuat, pasien sadar/terorientasi, tidak ada oedem, bebas nyeri/ketidaknyamanan.
Rencana intervensi dan rasional:
Intervensi Rasional
• Monitor perubahan tiba-tiba atau gangguan mental kontinu (camas, bingung, letargi, pinsan).
• Observasi adanya pucat, sianosis, belang, kulit dingin/lembab, catat kekuatan nadi perifer.
• Kaji tanda Homan (nyeri pada betis dengan posisi dorsofleksi), eritema, edema.
• Dorong latihan kaki aktif/pasif.
• Pantau pernafasan.
• Kaji fungsi GI, catat anoreksia, penurunan bising usus, mual/muntah, distensi abdomen, konstipasi.
• Pantau masukan dan perubahan keluaran urine.
• Perfusi serebral secara langsung berhubungan dengan curah jantung, dipengaruhi oleh elektrolit/variasi asam basa, hipoksia atau emboli sistemik.
• Vasokonstriksi sistemik diakibatkan oleh penurunan curah jantung mungkin dibuktikan oleh penurunan perfusi kulit dan penurunan nadi.
• Indikator adanya trombosis vena dalam.
• Menurunkan stasis vena, meningkatkan aliran balik vena dan menurunkan resiko tromboplebitis.
• Pompa jantung gagal dapat mencetuskan distres pernafasan. Namun dispnea tiba-tiba/berlanjut menunjukkan komplikasi tromboemboli paru.
• Penurunan aliran darah ke mesentrika dapat mengakibatkan disfungsi GI, contoh kehilangan peristaltik.
• Penurunan pemasukan/mual terus-menerus dapat mengakibatkan penurunan volume sirkulasi, yang berdampak negatif pada perfusi dan organ.
c. Intoleran aktifitas b/d adanya penurunan curah jantung, kongestif pulmunal Tujuan: Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 hari, klien dapat beraktifitas sesuai batas toleransi yang dapat diukur.
Kriteria hasil: menunjukkan peningaktan dalam beraktifitas, dengan frekuensi jantung/irama dan TD dalam batas normal, kulit hangat, merah muda dan kering.

Rencana intervensi dan rasional:
Intervensi Rasional
• Kaji toleransi pasien terhadap aktifitas menggunakan parameter berikut: nadi 20/mnt di atas frek nadi istirahat, catat peningaktan TD, dispnea, nyeri dada, kelelahan berat, kelemahan, berkeringat, pusing atau pinsan.
• Tingkatkan istirahat dan batasi aktifitas.
• Batasi pengunjung atau kunjungan oleh pasien.
• Kaji kesiapan untuk meningaktkan aktifitas contoh: penurunan kelemahan/kelelahan, TD stabil/frek nadi, peningaktan perhatian pada aktifitas dan perawatan diri.
• Dorong memajukan aktifitas/toleransi perawatan diri.
• Berikan bantuan sesuai kebutuhan (makan, mandi, berpakaian, eleminasi).
• Anjurkan pasien menghindari
peningkatan tekanan abdomen, mnegejan saat defekasi.
• Jelaskan pola peningkatan bertahap dari aktifitas, contoh: posisi duduk ditempat tidur bila tidak pusing dan tidak ada nyeri, bangun dari tempat tidur, belajar berdiri dst.
• Parameter menunjukkan respon fisiologis pasien terhadap stres aktifitas dan indikator derajat penagruh kelebihan kerja jnatung.
• Menghindari terjadinya takikardi dan pemendekan fase distole.
• Pembicaraan yang panjang sangat mempengaruhi pasien, naum periode kunjungan yang tenang bersifat terapeutik.
• Stabilitas fisiologis pada istirahat penting untuk menunjukkan tingkat aktifitas individu.
• Konsumsi oksigen miokardia selama berbagai aktifitas dapat meningkatkan jumlah oksigen yang ada. Kemajuan aktifitas bertahap mencegah peningkatan tiba-tiba pada kerja jantung.
• Teknik penghematan energi menurunkan penggunaan energi dan membantu keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.
• Aktifitas yang memerlukan
menahan nafas dan menunduk (manuver valsava) dapat mengakibatkan bradikardia, menurunkan curah jantung, takikardia dengan peningaktan TD.
• Aktifitas yang maju memberikan kontrol jantung, meningaktkan regangan dan mencegah aktifitas berlebihan.
d. Resiko kelebihan volume cairan b/d adanya perpindahan tekanan pada kongestif vena pulmonal, Penurunan perfusi organ (ginjal); peningaktan retensi natrium/air; peningakatn tekanan hidrostatik atau penurunan protein plasma (menyerap cairan dalam area interstitial/jaringan).
Tujuan: Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 hari kelebihan volume cairan tidak terjadi.
Kriteria hasil: balance cairan masuk dan keluar, vital sign dalam batas yang dapat diterima, tanda-tanda edema tidak ada, suara nafas bersih.
Rencana intervensi dan rasional:
Intervensi Rasional
• Auskultasi bunyi nafas untuk adanya krekels.
• Catat adanya DVJ, adanya edema dependen.
• Ukur masukan/keluaran, catat penurunan pengeluaran, sifat konsentrasi. Hitung keseimbnagan cairan.
• Pertahankan pemasukan total cairan 2000 cc/24 jam dalam toleransi kardiovaskuler.
• Berikan diet rendah natrium/garam.
• Delegatif pemberian diiretik. • Mengindikaiskan edema paru skunder akibat dekompensasi jantung.
• Dicurigai adanya gagal jantung kongestif.kelebihan volume cairan.
• Penurunan curah jantung mengakibatkan gangguan perfusi ginjal, retensi cairan/Na, dan penurunan keluaran urine. Keseimbangan cairan positif berulang pada adanya gejala lain menunjukkan klebihan volume/gagal jantung.
• Memenuhi kebutuhan cairan tubuh orang dewasa tetapi memerlukan pembatasan pada adanya dekompensasi jantung.
• Na meningkatkan retensi cairan dan harus dibatasi.
• Mungkin perlu untuk memperbaiki kelebihan cairan.
e. Resiko kerusakan pertukaran gas b/d perubahan membran kapiler-alveolus (perpindahan cairan ke dalam area interstitial/alveoli).
Tujuan: Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 hari pertukaran gas adekuat.
Kriteria hasil: sianosis tidak ada, edema tidak ada, vital sign dalam batas dapat diterima, akral hangat, suara nafas bersih, oksimetri dalam rentang normal.
Rencana intervensi dan rasional:
Intervensi Rasional
• Auskultasi bunyi nafas, catat krekels, mengii.
• Anjurkan pasien batuk efektif, nafas dalam.
• Dorong perubahan posisi sering.
• Pertahankan posisi semifowler, sokong tangan dengan bantal.
• Pantau GDA (kolaborasi tim medis), nadi oksimetri.
• Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.
• Delegatif pemberian diuretik. • Menyatakan adanya kongesti paru/pengumpulan sekret menunjukkan kebutuhan untuk intervensi lanjut.
• Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran oksigen.
• Membtau mencegah atelektasis dan pneumonia.
• Menurunkan komsumsi oksigen/kebutuhan dan meningkatkan ekspansi paru maksimal.
• Hipoksemia dapat menjadi berat selama edema paru.
• Meningkatkan konsentrasi oksigen alveolar, yang dapat memperbaiki/menurunkan hipoksemia jaringan.
• Menurunkan kongesti alveolar, meningkatkan pertukaran gas.







Referensi
• The Merck Manual for Healthcare Professionals. The Merck Manual: Merck Manual untuk Profesi Kesehatan.
• http://www.merck.com/mmpe/print/sec19/ch287/ch287d.html.
• http://www.merck.com/mmpe/print/sec19/ch287/ch287d.html. Accessed March 2, 2010. Diakses 2 Maret 2010.
• Atrioventricular canal defect. Atrioventrikular kanal cacat. American Heart Association. American Heart Association.
• http://www.americanheart.org/presenter.jhtml?identifier=132.
• http://www.americanheart.org/presenter.jhtml?identifier=132. Accessed March 2, 1010. Diakses 2 Maret 1010.
• Congenital heart defects. Cacat jantung bawaan. The National Heart, Lung and Blood Institute. Heart Lung, Nasional dan Lembaga Darah.
• http://www.nhlbi.nih.gov/health/dci/Diseases/chd/chd_all.html.
• http://www.nhlbi.nih.gov/health/dci/Diseases/chd/chd_all.html. Accessed March 2, 2010. Diakses 2 Maret 2010.
• Calabro R, et al. Calabro R, et al. Complete atrioventricular canal. Lengkap atrioventrikular kanal. Orphanet Journal of Rare Diseases. Jurnal Orphanet Penyakit Langka. 2006;1:8. 2006; 1:8.
• Congenital heart defects. Cacat jantung bawaan. March of Dimes. Maret Dimes.
• http://www.marchofdimes.com/professionals/14332_1212.asp.
• http://www.marchofdimes.com/professionals/14332_1212.asp. Accessed March 3, 2010. Diakses 3 Maret 2010.
• Craig B. Atrioventricular septal defect: From fetus to adult. Craig B. atrioventrikular defek septum: Dari janin hingga dewasa. Heart. Heart. 2006;92:1879. 2006; 92:1879.
• Warnes CA, et al. Warnes CA, et al. ACC/AHA 2008 guidelines for the management of adults with congenital heart disease. ACC / AHA 2008 pedoman bagi manajemen orang dewasa dengan penyakit jantung bawaan. Journal of the American College of Cardiology. Journal of American College of Cardiology. 2008;52:e143. 2008; 52: e143.
• Grogan M (expert opinion). Grogan M (pendapat ahli). Mayo Clinic, Rochester, Minn. March 10, 2010. Mayo Clinic, Rochester, Minn 10 Maret 2010.

Asuhan Keperawatan Varises Vena

Pengertian
Varises Vena (vena varikosa) adalah pelebaran vena permukaan di tungkai atau pemanjangan, berkelok-kelok dan pembesaran suatu vena. Vena varikosa ekstremitas bawah adalah kelainan yang sangat lazim, yang mengenai 15-20 % populasi dewasa (Sabiston 1994). Varises vena adalah distensi, dan bentuk berlekuk-lekuk dari vena-vena superficial (safena) dari kaki (Engram B., 1999). Varises tungkai bawah adalah pemanjangan, berkelok-kelok, pembesaran suatu vena superficial, profunda dan kommmunikan pada titik Dodd (pertengahan paha), Byod (sebelah medial lutut) dan gastronemicus (tempat keluarnya vana saphena parva).
Batasan
 Riwayat keluarga bisa didapatkan dalam sekitar 15% klien.
 Kelainan ini lebih sering ditemukan pada wanita (rasio wanita terhadap pria 5:1), dengan banyak wanita menentukan bahwa saat mulainya varices terlihat dan simtomatik pada waktu kehamilan.
 Umur > 37 tahun pada wanita
 Obesitas > 115% dari BBR (Berat Badan Relatif)
 Orthostatik (berdiri lama)
Etiologi
Penyebab pasti dari varises vena tidak diketahui, tetapi kemungkinan penyebabnya adalah suatu kelemahan pada dinding vena permukaan.
Lama-lama kelemahan ini menyebabkan vena kehilangan kelenturannya. Vena akan meregang dan menjadi lebih panjang dan lebih lebar. Untuk menyesuaikan dengan ruangnya yang normal, vena yang memanjang ini menjadi berliku-liku dan jika menyebabkan penonjolan di kulit yang menutupinya, akan tampak gambaran yang menyerupai ular.

Pelebaran vena menyebabkan terpisahnya daun-daun katup. Sebagai akibatnya, jika penderita berdiri, vena dengan cepat akan terisi oleh darah dan vena berdinding tipis yang berliku-liku ini akan semakin melebar.

Pelebaran vena juga mempengaruhi beberapa vena yang berhubungan, yang dalam keadaan normal mengalirkan darah hanya dari vena permukaan ke vena dalam. Jika katup-katup pada vena tersebut gagal, maka pada saat otot menekan vena dalam, darah akan menyembur kembali ke dalam vena permukaan, sehingga vena permukaan menjadi lebih teregang.

Tanda & Gejala

Selain tidak enak dilihat, varises vena sering terasa sakit dan menyebabkan kaki mudah lelah. Tetapi banyak juga penderita yang tidak merasakan nyeri, meskipun venanya sangat melebar.

Tungkai bagian bawah dan pergelangan kaki bisa terasa gatal, terutama jika tungkai dalam keadaan hangat (setelah menggunakan kaos kaki atau stoking).
Rasa gatal menyebabkan penderita menggaruk dan menyebabkan kulit tampak kemerahan atau timbul ruam. Hal ini sering disalah-artikan sebagai kulit yang kering.

Gejala yang terjadi pada varises yang sedang berkembang kadang lebih buruk daripada gejala pada vena yang telah sepenuhnya teregang.


Klasifikasi
Vena varikosa diklasifikasikan (Sabiston):
 Vena varikosa primer, merupakan kelainan tersendiri vena superficial ekstremitas bawah
 Vena varikosa sekunder, merupakan manifestasi insufisiensi vena profunda dan disertai dengan beberapa stigmata insufisiensi vena kronis, mencakp edema, perubahan kulit, dermatitis stasis dan ulserasi.
Manifestasi klinis (Puruhito) :
a. varises truncal (stem varicosis)
b. Varises retikularis
c. Varises kapilaris
Gradasi keluhan klinis (Puruhito) :
a. stadium I : tak menentu
b. stadium II : phleboectasia
c. Stadium III : varises sesungguhnya, reversal blood-flow
d. Stadium IV : ulcus varicosum, kelainan tropic, Kronik vanous Insufisiensi (CVI)
Pemeriksaan klinis dapat dilakukan dengan :
a. Test trendelenberg
b. Test myer
c. Test perthes
d. Test Doppler
e. Radiologi (Phlebografi, morfometri, phlethysmografi)
Penatalaksanaan
 Konservatif, simtomatik dan nonoperatif :
• Menghindari berdiri dalam waktu yang lama
• penurunan berat badan dan aktivitas otot seperti berjalan
• Penggunaan kaos penyokong ringan yang nyaman, Pemasangan stocking elastis yang pas karena obliterasi vena superficial (vena safena mmana)
• KOnservatif :
 Obat Venoruton (Gol hydroxyl Rutoside) 600 mg/hari minimal 2 minggu
 Skleroterapi (tak dipakai lagi)
 Lokal antiphlogistikum (Zinc Zalf (Pasta LAssar)
 Operatif :
• Stripping vena saphena (V. shapena magna, v. saphena psotrior, dan v, saphena parva) dengan menggunakan alat stripper (vena dikeluarkan)
• Ligasi VV kommunikans yaitu tempat-tempat di mana diperiksa ada kebocoran, diikat dan dipotong.
• Ekstraksi (Babcock) dengan sayatan kecil-kecil vena-vena yang berkelok dicabut keluar.Ligasi, Stripping dan Ekstraski Babcock.
 Ekstremitas harus ditinggikan selama 4-6 jam
 Balutan penekan dipasang di kamar operasi seharisnya tetap dipakai selama 4-6 hari, dengan menggunakan balutan elastis (Balutan ACE)
 24-48 jam paska bedah program ambulasi progresif seharusnya dimulai
 KLien diijinkan berjalan beberpa menitper jam, meningkat bertahap tiap hari dan tetap terlentang dengan ekstremitas ditinggikan, bila sedang berjalan. Berdiri (tanpa jalan) dan duduk harus dihindari serta
7.5 stocking (stocking antiembolism) yang sesuai dengan kebiasaan harus dipakai delama beberapa bulan
Komplikasi
o Trauma pada nervus safenus dan suralis dengan diserta hiperestesia kulit
o Pembentukan hematoma subkutis dan kadang-kadang stripiing arteri tak sengaja.
o Hanya sebagian kecil penderita yang memiliki komplikasi, yaitu berupa:
• Dermatitis, menyebabkan ruam kemerahan, bersisik dan terasa gatal atau daerah kecoklatan; biasanya pada bagian dalam tungkai, diatas pergelangan kaki. Penggarukan atau luka kecil bisa menyebabkan terbentuknya ulkus (borok) yang terasa nyeri dan tidak sembuh-sembuh.
• Flebitis, bisa terjadi secara spontan atau setelah suatu cedera; biasanya menimbulkan nyeri tetapi tidak berbahaya.
• Perdarahan. Jika kulit diatas varises sangat tipis, cedera ringan (terutama karena penggarukan atau pencukuran) bisa menyebabkan perdarahan. Perdarahan juga bisa berasal dari borok.

Penegakan Diagnosa

Varises vena biasanya dapat terlihat sebagai penonjolan dibawah kulit, tetapi gejalanya mungkin saja timbul sebelum vena terlihat dari luar.
Jika varises belum terlihat, dilakukan peminjatan tungkai untuk menentukan beratnya penyakit ini.

Rontgen atau USG dilakukan untuk menilai fungsi dari vena dalam.
Pemeriksaan ini biasanya hanya dilakukan jika perubahan di kulit menunjukkan adanya kelainan fungsi dari vena dalam atau jika pergelangan kaki penderita bengkak karena edema (penimbunan carian di dalam jaringan dibawah kulit). Varisesnya sendiri tidak menyebabkan edema.


I. Pengkajian

a. Identitas
Kelainan ini lebih sering ditemukan pada wanita (rasio wanita terhadap pria 5:1), dengan banyak wanita menentukan bahwa saat mulainya varices terlihat dan simtomatik pada waktu kehamilan.

b. Alasan masuk rumah sakit
Kosmetik, gejala simtomatik lainnya seperti : kelelahan dan sensasi berat, kram, nyeri , odema, Perdarahan spontan/akibat trauma dan Hiperpigmentasi

c. Riwayat penyakit
Profokatif : pemanjangan, berkelok-kelok dan pembesaran suatu vena
Qualitatif : kuantitatif, semakin berat
Regio : ekstremitas bawah (kedua kaki)
Severity : sakitnya mengganggu kosmetik dan aktivitas sehari-hari (kelelahan dan sensasi berat, kram, nyeri , odema)
Time : semakin hari semakin berat dan bertambah besar

d. Riwayat atau factor-faktor resiko :
1. kelemahan congenital/tidak adanya katup
2. Pekerjaan yang nmengharuskan berdiri/duduk dalam waktu lama tanpa kontrasi otot intermettentrauma langsung ke katup vena perforantes
3. kehamilan atau kelainan hormonal
4. riwayat keluarga dengan varises vena

e. pemenuhan pola kebutuhan sehari-hari :
1. Persepsi
Perawat bertanggung jawab untuk menentukan pemahaman klien tentang infomrasi (sifat operasi, semua pilihan alternative, hasil yang diperkirakan dan kemungkinan komplikasi), yang kemudian diberitahukan kepada ahli bedah apaakah diperlukan informasi lebih banyak (Informed consent). Pengalaman pembedahan masa lalu dapat meningkatkan kenyamanan fisik dan psikis serta mencegah komplikasi.

2. Status nutrisi
Secara langsung mempengaruhi respon pada trauma pembedahan dan anestesi. Sebelumnya perlu masukan karbohidrat dan protein untuk keseimbangan nitrogen negative. Puasa perlu dipersiapkan 8 jam sebelum operasi.

3. Status cairan dan elektrolit
Klien dengan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit cendrung mengalami komplikasi syok, hipotensi, hipoksia dan distritmia baik intraoperasi dan paska operasi.

4. Status emosi
Respon klien, keluarga dan orang terdekat pada tindakan pembedahan tergantung pengalaman masa lalu, strategi koping, system pendukung dan tingkat pembedahan. Kebanyakan klien yang mengantisipasi mengalami pembedahan dengan anssietas dan ketakutan.Ketidakpastian prosedur pembedahan menimbulkan ansietas, nyeri, insisi dan imobilisasi.

f. Pemeriksaan fisik
Status lokalis :
1. Dilatasi, lekuk-lekuk vena superfisialis pada kaki
2. Keluhan sakit dangkal, kelelahan, kram, dan kaki berat, khsusnya setelah berdiri lama
3. pigmentasi kecoklatan pada kulit
4. bengkak, yang secara umum berkurang dengan peninggian tungkai

g. Pemeriksaan diagnostik
1. Venogram menunjukkan lokasi pasti dari varises kedua vena superficial dan dalam.
2. Test perfthes (klien berdiri sampai vena varikosa tampak dan digambar)

h. Program Pengobatan
Karena varises vena tidak dapat disembuhkan, pengobatan terutama ditujukan untuk mengurangi gejala, memperbaiki penampilan dan mencegah komplikasi.
Mengangkat kaki bisa mengurangi gejala tetapi tidak dapat mencegah varises vena.
Varises vena yang timbul selama kehamilan biasanya akan membaik dalam waktu 2-3 minggu setelah melahirkan. Stoking elastis bekerja dengan cara menekan vena dan mencegah peregangan dan perlukaan pada vena. Penderita yang tidak ingin menjalani pembedahan atau terapi suntikan atau penderita yang memiliki masalah medis sehingga tidak boleh menjalani pembedahan maupun terapi suntikan, bisa menggunakan stoking elastis ini.
Tujuan dari pembedahan adalah untuk mengangkat sebanyak mungkin varises vena.
Vena superfisial yang paling besar adalah vena safena magna, yang berjalan mulai dari pergelangan kaki sampai selangkangan, dimana vena ini bergabung dengan vena dalam. Vena safena dapat diangkat melalui prosedur yang disebut stripping.
Vena permukaan memiliki peran yang tidak terlalu penting dibandingkan dengan vena dalam, karena itu pengangkatan vena permukaan tidak mengganggu sirkulasi darah selama vena dalam berfungsi dengan normal. Pada terapi suntikan, vena ditutup, sehingga tidak ada darah yang dapat melewatinya. Suatu larutan disuntikkan untuk mengiritasi vena dan menyebabkan terbentuknya gumpalan (trombus.
Pada dasarnya prosedur ini menyebabkan flebitis permukaan yang tidak berbahaya. Penyembuhan trombus menyebabkan terbentuknya jaringan parut yang akan menyumbat vena. Tetapi trombus mungkin saja terlarut dan varises vena kembali terbuka.
Jika diameter dari vena yang disuntik ini bisa berkurang melalui penekanan oleh teknik pembebatan khusus, maka ukuran trombus bisa diperkecil sehingga lebih mungkin terbentuk jaringan parut, seperti yang diharapkan.
Keuntungan lain dari pembebatan adalah bahwa penekanan yang tepat bisa menghilangkan nyeri, yang biasanya menyertai flebitis permukaan. Terapi suntikan biasanya dilakukan hanya jika varises kembali timbul setelah pembedahan atau jika penderita menginginkan tungkainya tampak cantik.


II. Analisa Data

No DATA / SS MASALAH / P PENYEBAB / E
1 DS = Pasien mengatakan cemas bila menjalani operasi

DO = - gelisah
- tidak tenang
Kecemasan Kurangnya Informasi dan pengalaman tentang operasi.
2 DS = Pasien mengatakan nyeri pada bekas luka operasi.

DO = - Tidak tenang
- Wajah menyeringai
Nyeri Akut Refleks sekunder terhadap trauma pada jaringan dan saraf bekas operasi stripping.



III. Diagnosa keperawatan


1. Kecemasan berhubungan dengan kurangnya informasi dan pengalaman tentang operasi informasi (sifat operasi, semua pilihan alternative, hasil yang diperkirakan dan kemungkinan komplikasi), ditandai dengan :
DS = Pasien mengatakan cemas bila menjalani operasi

DO = - gelisah
- tidak tenang

2 Nyeri berhubungan dengan sekunder terhadap trauma pada jaringan dan saraf bekas operasi stripping, ditandai dengan :
DS = Pasien mengatakan nyeri pada bekas luka operasi.

DO = - Tidak tenang
- Wajah menyeringai
- Melindungi area yang sakit
- Gelisah


IV. PERENCANAAN KEPERAWATAN

NO DIAGNOSA KEP. TUJUAN & KRITERIA HASIL RENCANA TINDAKAN RASIONAL
1 Kecemasan berhubungan dengan kurangnya informasi dan pengalaman tentang operasi informasi, ditandai dengan :

DS = Pasien mengatakan cemas bila menjalani operasi

DO = - gelisah
- tidak tenang
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 60 menit cemas berkurang, dengan kriteria :


DS = Pasien dapat menyatakan rasa cemas dan masalahnya

DO = - Pasien tenang
- Pasien tidak gelisah

1. Ciptakan saling percaya

2. Dorong pengungkapan masalah atau rasa cemas

3. jawab pertanyaan yang berhubungan dengan penatalaksanaan keperawatan dan perawatan medis

4. Selesaikan persiapan pasien sebelum masuk ke kamar operasi

5. meminimalkan keributan di lingkungan

6. Orientasikan pada ruang operasi (ulangi informasi untuk memungkinkan penyerapan)

7. Pemantauan psikologis klien

8. Tunjukkan perhatian dan sikap mendukung

9. Beri penjelasan singkat tentang prosedur operasi

10. Beri reinforcement terhadap pernyataan yang positif dan mendukung

Rasional
1. Dasar untuk menemukan dan pemecahan masalah.
2. Perasaan cemas yang diungkapkan pada orang yang dipercaya akan memberikan dampak lega dan merasa aman.
3. Pertanyaan yang dijawab dan dimengerti akan mengurangi rasa cemasnya.


4. Persiapan yang matang dapat menengkan suasana lingkungan sebelum operasi.
5. Lingkungan rebut memuat stress.

6. Lingkungan yang dimengerti akan mendorong kenyamanan dan keamanan klien.

7. Tingkat kecemasan intoleran akan mengganggu pelaksanaan operasi dan anestesi.
8. Support system meningkatkan mekanisme koping klien dalam menghadapi masalah.
9. Penjelasan tentang informaasi seputar bedah memberikan informasi yang positif dan pengalaman persiapan diri dalam pembedahan.
10. Reinforcement meberikan dorongan system social untuk meningkatan koping mekanisme.

2 Nyeri berhubungan dengan sekunder terhadap trauma pada jaringan dan saraf bekas operasi stripping, ditandai dengan :

DS = Pasien mengatakan nyeri pada bekas luka operasi.

DO = - Tidak tenang
- Wajah menyeringai
- Melindungi area yang sakit
- Gelisah
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2 x 24 jam nyeri berkurang, dengan kriteria:


DS = pasien mengatakan tidak nyeri


DO = Pasien tenang dan tidak menyeringai serta mengerti factor penyebabnya seperti yang telah dijelaskan pada preoperasi

1. Kaji tingkat nyeri

2. Atur posisi yang baik dan mengenakkan

3. Anjurkan klien nafas panjang dan dalam

4. Observasi luka paskaoperasi

5. Terapi analgetik
Rasional
1. Nyeri dapat diantisipasi klien secara individualisme dan penanganan yan berbeda
2. Posisi kaki lebih tinggi dari badan 30o dapat mengurangi peningkatan penekanan pada jaringan yang rusak sehingga mengurangi nyeri.
3. Nafas panjang dan dalam merelaksasi otot yang dioperasi dan terimobilisasi sehingga nyeri berkurang
4. Perhatikan stuwing yang meningkat menghambat suplai oksigen sehingga nyeri bertambah.
5. Analgetik merupakan obat anti nyeri yang bekerja secara sentral atau perifer/local.

DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, Marilynn E. Et al. 1999, Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Hudak & Gallo, 1996, Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik Vol 1 Edisi VI, Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta
Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran
www.medicastore.com; www.mentorhealthcare.com

27 Apr 2011

Asuhan Keperawatan Kolelitiasis

A. ANATOMI
Kandung empedu (Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah pear yang terletak pada permukaan visceral hepar, panjangnya sekitar 7 – 10 cm. Kapasitasnya sekitar 30-50 cc dan dalam keadaan terobstruksi dapat menggembung sampai 300 cc. Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior hepar yang dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung rawan costa IX kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan arahnya keatas, belakang dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang berjalan dalam omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus comunis membentuk duktus koledokus. Peritoneum mengelilingi fundus vesica fellea dengan sempurna menghubungkan corpus dan collum dengan permukaan visceral hati.
Pembuluh arteri kandung empedu adalah arteri cystica, cabang arteri hepatica kanan. Vena cystica mengalirkan darah lengsung kedalam vena porta. Sejumlah arteri yang sangat kecil dan vena – vena juga berjalan antara hati dan kandung empedu.
Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak dekat collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi lymphatici hepaticum sepanjang perjalanan arteri hepatica menuju ke nodi lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju kekandung empedu berasal dari plexus coeliacus.
Gambar 2: Anatomi vesica fellea dan organ sekitarnya.

B. FISIOLOGI SALURAN EMPEDU
Vesica fellea berperan sebagai resevoir empedu dengan kapasitas sekitar 50 ml. Vesica fellea mempunya kemampuan memekatkan empedu. Dan untuk membantu proses ini, mukosanya mempunyai lipatan-lipatan permanen yang satu sama lain saling berhubungan. Sehingga permukaanya tampak seperti sarang tawon. Sel- sel thorak yang membatasinya juga mempunyai banyak mikrovilli.
Empedu dibentuk oleh sel-sel hati ditampung di dalam kanalikuli. Kemudian disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam septum interlobaris. Saluran ini kemudian keluar dari hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri. Kemudian keduanya membentuk duktus biliaris komunis. Pada saluran ini sebelum mencapai doudenum terdapat cabang ke kandung empedu yaitu duktus sistikus yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan empedu sebelum disalurkan ke duodenum.


C. PENGERTIAN
Kolelitiasis/koledokolitiasis merupakan adanya batu di kandung empedu, atau
pada saluran kandung empedu yang pada umumnya komposisi utamanya adalah
kolesterol. (Williams, 2003)

D. PENYEBAB
Penyebab pasti dari batu empedu belum diketahui. Satu teori menyatakan
bahwa kolesterol dapat menyebabkan supersaturasi empedu di kandung empedu.
Setelah beberapa lama, empedu yang telah mengalami supersaturasi menjadi
mengkristal dan memulai membentuk batu. Tipe lain batu empedu adalah batu
pigmen. Batu pigmen tersusun oleh kalsium bilirubin, yang terjadi ketika bilirubin
bebas berkombinasi dengan kalsium.( Williams, 2003)

E. PATOFISIOLOGI
Ada dua tipe utama batu empedu: batu yang terutama tersusun dari pigmen dan
batu yang terutama tersusun dari kolesterol.
1. Batu Pigmen
Kemungkinan akan terbentuk bila pigmen yang tidak terkonjugasi dalam
empedu mengadakan presipitasi (pengendapan) sehingga terjadi batu. Resiko
terbentuknya batu semacam ini semakin besar pad pasien sirosis, hemolisis dan
infeksi percabangan bilier. Batu ini tidak dapat dilarutkan dan harus dikeluarkan
dengan jalan operasi.
2. Batu Kolesterol
Kolesterol yang merupakan unsur normal pembentuk empedu bersifat
tidak larut dalam air. Kelarutannya bergantung pada asam-asam empedu dan
lesitin (fosfolipid) dalam empedu. Pada pasien yang cenderung menderita batu
empedu akan terjadi penurunan sintesis asam empedu dan peningkatan sintesis
kolesterol dalam hati; keadaan ini mengakibatkan supersaturasi getah empedu
oleh kolesterol yang kemudian keluar dari getah empedu, mengendap dan
membentuk batu. Getah empedu yang jenuh oleh kolesterol merupakan
predisposisi untuk timbulnya batu empedu dan berperan sebagai iritan yang
menyebabkan perdangan dalam kandung empedu.
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam
pembentiukan batu, melalui peningkatan dikuamasi sel dan pembentukan mukus.
Mukus meningkatkan viskositas dan unsur seluler dan bakteri dapat berperan
sebagi pusat presipitasi. Akan tetapiu infeksi lenih sering menjadi akibat dari
pembentukan batu empedu dari pada sebab pembentukan batu empedu.(Smeltzer,
2002)

F. INSIDENSI
Jumlah wanita berusia 20-50 tahun yang menderita batu empedu sekitar 3 kali
lebih banyak dari pada laki-laki. Setelah usia 50 tahun, rasio penderita batu
empedu hampir sama antara pria dan wanita. Insidensi batu empedu meningkat
seiring bertambahnya usia.(Williams, 2003)

G. TANDA DAN GEJALA
1. Rasa nyeri dan kolik bilier
Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu akan
mengalami distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan menderita panas dan
mungkin teraba massa padat pada abdomen. Pasien dapat mengalami kolik bilier
disertai nyeri hebat pada abdomen kuadaran kanan atas yang menjalar ke
punggung atau bahu kanan; rasa nyeri ini biasanya disertai mual dan muntah dan
bertambah hebat dalam makan makanan dalam porsi besar. Pada sebagian pasien
rasa nyeri bukan bersifat kolik melainkan persisten. Serangan kolik bilier
semacam ini disebabkan kontraksi kandung empedu yang tidak dapat mengalirkan
empedu keluar akibat tersumbatnya saluran oleh batu. Dalam keadaan distensi,
bagian fundus kandung empedu akan menyentuh dinding abdomen pada daerah
kartilago kosta 9 dan 10 kanan. Sentuhan ini menimbulkan nyeri tekan yang
mencolok pada kuadran kanan atas ketika pasien melakukan inspirasi dalam dan
menghambat pengembangan rongga dada.
2. Ikterus
Obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam dudodenum akan
menimbulkan gejala yang khas, yaitu: gatah empedu yang tidak lagi dibawa
kedalam duodenum akan diserap oleh darah dan penyerapan empedu ini membuat
kulit dan menbran mukosa berwarna kuning. Keadaan ini sering disertai dengan
gejal gatal-gatal pada kulit.
3. Perubahan warna urine dan feses.
Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urine berwarna sangat
gelap. Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu aka tampak kelabu,
dan biasanya pekat yang disebut “Clay-colored ”
4. Defisiensi vitamin
Obstruksi aliran empedu juga akan mengganggu absorbsi vitamin A,D,E,K
yang larut lemak. Karena itu pasien dapat memperlihatkan gejala defisiensi
vitamin-vitamin ini jika obstruksi bilier berlangsung lama. Defisiensi vitamin K
dapat mengganggu pembekuan darah yang normal.(Smeltzer, 2002)
5. Regurgitasi gas: flatus dan sendawa

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Radiologi
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai prosedur
diagnostik pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan
akurat, dan dapat digunakan pada penderita disfungsi hati dan ikterus. Disamping
itu, pemeriksaan USG tidak membuat pasien terpajan radiasi inisasi. Prosedur ini
akan membrikan hasil yang paling akurat jika pasien sudah berpuasa pada malam
harinya sehingga kandung empedunya berada dalam keadan distensi. Penggunaan
ultra sound berdasarkan pada gelombang suara yang dipantulkan kembali.
Pemeriksan USG dapat mendeteksi kalkuli dalam kandung empedu atau duktus
koleduktus yang mengalami dilatasi.
2. Radiografi: Kolesistografi
Kolesistografi digunakan bila USG tidak tersedia atau bila hasil USG
meragukan. Kolangiografi oral dapat dilakukan untuk mendeteksi batu empedu
dan mengkaji kemampuan kandung empedu untuk melakukan pengisian,
memekatkan isinya, berkontraksi serta mengosongkan isinya. Oral kolesistografi
tidak digunakan bila pasien jaundice karena liver tidak dapat menghantarkan
media kontras ke kandung empedu yang mengalami obstruksi.(Smeltzer, 2002)
3. Sonogram
Sonogram dapat mendeteksi batu dan menentukan apakah dinding
kandung empedu telah menebal.(Williams, 2003)
4. ERCP (Endoscopic Retrograde Colangiopancreatografi)
Pemeriksaan ini memungkinkan visualisasi struktur secara langsung yang
hanya dapat dilihat pada sat laparatomi. Pemeriksaan ini meliputi insersi endoskop
serat optik yang fleksibel ke dalam esofagus hingga mencapai duodenum pars
desendens. Sebuah kanula dimasukan ke dalam duktus koleduktus serta duktus
pankreatikus, kemudian bahan kontras disuntikan ke dalam duktus tersebut untuk
menentukan keberadaan batu di duktus dan memungkinkan visualisassi serta
evaluasi percabangan bilier.(Smeltzer, 2002)
5. Pemeriksaan darah
a. Kenaikan serum kolesterol
b. Kenaikan fosfolipid
c. Penurunan ester kolesterol
d. Kenaikan protrombin serum time
e. Kenaikan bilirubin total, transaminase
f. Penurunan urobilirubin
g. Peningkatan sel darah putih
h. Peningkatan serum amilase, bila pankreas terlibat atau bila ada
batu di duktus utama

I. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan pendukung dan diet
Kurang lebih 80% dari pasien-pasien inflamasi akut kandung empedu
sembuh dengan istirahat, cairan infus, penghisapan nasogastrik, analgesik dan
antibiotik. Intervensi bedah harus ditunda sampai gejala akut mereda dan evalusi
yang lengkap dapat dilaksanakan, kecuali jika kondisi pasien
memburuk.(Smeltzer, 2002)
Manajemen terapi :
a. Diet rendah lemak, tinggi kalori, tinggi protein
b. Pemasangan pipa lambung bila terjadi distensi perut.
c. Observasi keadaan umum dan pemeriksaan vital sign
d. Dipasang infus program cairan elektrolit dan glukosa untuk
mengatasi syok.
e. Pemberian antibiotik sistemik dan vitamin K (anti koagulopati)
2. Pengangkatan batu empedu tanpa pembedahan
a. Pelarutan batu empedu
Pelarutan batu empedu dengan bahan pelarut (misal : monooktanoin
atau metil tertier butil eter/MTBE) dengan melalui jalur : melalui selang atau
kateter yang dipasang perkutan langsung kedalam kandung empedu; melalui
selang atau drain yang dimasukkan melalui saluran T Tube untuk melarutkan batu
yang belum dikeluarkan pada saat pembedahan; melalui endoskop ERCP; atau
kateter bilier transnasal.
b. Pengangkatan non bedah
Beberapa metode non bedah digunakan untuk mengelurkan batu yang
belum terangkat pada saat kolisistektomi atau yang terjepit dalam duktus
koledokus. Prosedur pertama sebuah kateter dan alat disertai jaring yang terpasang
padanya disisipkan lewat saluran T Tube atau lewat fistula yang terbentuk pada
saat insersi T Tube; jaring digunakan untuk memegang dan menarik keluar batu
yang terjepit dalam duktus koledokus. Prosedur kedua adalah penggunaan
endoskop ERCP. Setelah endoskop terpasang, alat pemotong dimasukkan lewat
endoskop tersebut ke dalam ampula Vater dari duktus koledokus. Alat ini
digunakan untuk memotong serabut-serabut mukosa atau papila dari spingter
Oddi sehingga mulut spingter tersebut dapat diperlebar; pelebaran ini
memungkinkan batu yang terjepit untuk bergerak dengan spontan kedalam
duodenum. Alat lain yang dilengkapi dengan jaring atau balon kecil pada
ujungnya dapat dimsukkan melalui endoskop untuk mengeluarkan batu empedu.
Meskipun komplikasi setelah tindakan ini jarang terjadi, namun kondisi pasien
harus diobservasi dengan ketat untuk mengamati kemungkinan terjadinya
perdarahan, perforasi dan pankreatitis.
c. ESWL (Extracorporeal Shock-Wave Lithotripsy)
Prosedur noninvasiv ini menggunakan gelombang kejut berulang
(Repeated Shock Wave) yang diarahkan pada batu empedu didalam kandung
empedu atau duktus koledokus dengan maksud memecah batu tersebut menjadi
beberapa sejumlah fragmen.(Smeltzer, 2002)
3. Penatalaksanaan bedah
Penanganan bedah pada penyakit kandung empedu dan batu empedu
dilaksanakan untuk mengurangi gejala yang sudah berlangsung lama, untuk
menghilangkan penyebab kolik bilier dan untuk mengatasi kolesistitis akut.
Pembedahan dapat efektif jika gejala yang dirasakan pasien sudah mereda atau
bisa dikerjakan sebagai suatu prosedur darurat bilamana kondisi psien
mengharuskannya
Tindakan operatif meliputi
a. Sfingerotomy endosokopik
b. PTBD (perkutaneus transhepatik bilirian drainage)
c. Pemasangan “T Tube ” saluran empedu koledoskop
d. Laparatomi kolesistektomi pemasangan T Tube
Penatalaksanaan pra operatif :
a. Pemeriksaan sinar X pada kandung empedu
b. Foto thoraks
c. Ektrokardiogram
d. Pemeriksaan faal hati
e. Vitamin k (diberikan bila kadar protrombin pasien rendah)
f. Terapi komponen darah
g. Penuhi kebutuhan nutrisi, pemberian larutan glukosa secara intravena bersama suplemen hidrolisat protein mungkin diperlikan untuk membentu kesembuhan luka dan mencegah kerusakan hati.

J. PENGOSONGAN KANDUNG EMPEDU
Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial kandung empedu. Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak kedalam duodenum. Lemak menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin dari mukosa duodenum, hormon kemudian masuk kedalam darah, menyebabkan kandung empedu berkontraksi. Pada saat yang sama, otot polos yang terletak pada ujung distal duktus coledokus dan ampula relaksasi, sehingga memungkinkan masuknya empedu yang kental ke dalam duodenum. Garam – garam empedu dalam cairan empedu penting untuk emulsifikasi lemak dalam usus halus dan membantu pencernaan dan absorbsi lemak.
Proses koordinasi kedua aktifitas ini disebabkan oleh dua hal yaitu :
Hormonal :
Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai duodenum akan merangsang mukosa sehingga hormon Cholecystokinin akan terlepas. Hormon ini yang paling besar peranannya dalam kontraksi kandung empedu.
Neurogen :
o Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase Cephalik dari sekresi cairan lambung atau dengan refleks intestino-intestinal akan menyebabkan kontraksi dari kandung empedu.
o Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke duodenum dan mengenai Sphincter Oddi. Sehingga pada keadaan dimana kandung empedu lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar walaupun sedikit.
Pengosongan empedu yang lambat akibat gangguan neurologis maupun hormonal memegang peran penting dalam perkembangan inti batu.

K. PATOGENESIS BENTUKAN BATU EMPEDU
Avni Sali tahun 1984 membagi batu empedu berdasarkan komponen yang terbesar yang terkandung di dalamnya. Hal ini sesuai dengan pembagian dari Tetsuo Maki tahun 1995 sebagai berikut :
1. Batu kolesterol dimana paling sedikit 50 % adalah kolesterol. Ini bisa berupa sebagai :
Batu Kolesterol Murni
Batu Kombinasi
Batu Campuran (Mixed Stone)
2. Batu bilirubin dimana garam bilirubin kadarnya paling banyak, kadar kolesterolnya paling banyak 25 %. Bisa berupa sebagai :
Batu Ca bilirubinat atau batu pigmen calsium
Batu pigmen murni
3. Batu empedu lain yang jarang
Sebagian ahli lain membagi batu empedu menjadi :
Batu Kolesterol
Batu Campuran (Mixed Stone)
Batu Pigmen.

Asuhan Keperawatan

A. PENGKAJIAN
a. Aktivitas dan istirahat
S : kelemahan
O : kelelahan
b. Sirkulasi
Takikardi, Diaphoresis
c. Eliminasi
S : perubahan warna unrine dan feses,
O : distensi abdomen, teraba masa di abdomen atas / quadran kanan atas, urine pekat
d. Makan / minum
S : anoreksia, nausea /vomiting, tidak ada troleransi makan lunak yang mengandung gas, regurgitas ulang, eruption, flatunasi, rasa seperti terbakar pada epugastrik, ada peristaltik, kembung dan dispepsia
O : kegemukan, kehilangan berat badan (kurus)
e. Nyeri / kenyamanan
S : nyeri abdomen menjalar ke punggung sampai ke bahu,nyeri epigastrium setelah makan, nyeri tiba-tiba dan mencapai puncak setelah 30 menit
O :cenderung teraba lembut pada kolelitiasis, teraba otot meregang / kaku, hal ini
dilakukan pada pmeriksaan RUQdan menunjukkan tanda marfin (+)
f. Respirasi
Pernapasan panjang / pendek, nafas dangkal,rasa tak nyaman
g. Keamanan
Demam menggigil, jundice, kulit kering dan pruritus, cenderung perdarahan (defisiensi vit K)
h. Pengetahuan
Pada keluarga dan pada kehamilan cenderung mengalami batu kandung empedu. Juga pada riwayat DM dan gangguan / peradangan pada saluran cerna bagian bawah





B. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNCUL
1 Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik (obstruksi, proses pembedahan)
2. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan untuk ingesti dan absorbsi makanan
3 Cemas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
4 Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif, kerusakan jaringan (luka operasi)
5 Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas trakturs gastrointestinal (sekunder terhadap imobilisasi)
6 Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebihan (mual, muntah, drainase selang yang berlebihan)
7 Kurang pengetahuan: penyakitprosedur perawatan b.d.Kurangnya informasi.

C. PERENCANAAN

1) Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik (obstruksi, proses pembedahan)
Tujuan : Nyeri terkontrol.
Kriteria:
1. Pasien melaporkan nyerinya dapat dikontrol.
2. Pasien melaporkan nyerinya berkurang/hilang (skala 0-3).
3. Menunjukkan nyeri berkurang/hilang.
Intervensi
Manajemen nyeri
a. Kaji skala nyeri klien (0-10).
b. Monitor nyeri pasien (PQRST).
c. Ukur tanda-tanda vital.
d. Ajarkan dan lakukan teknik distraksi seperti membaca Koran, buku,
aktivitas sesuai hobi, menonton tv, mendengarkan radio, guided
imagery, dll.
e. Ajarkan dan lakukan teknik relaksasi nafas dalam, pengubahan
posisi, massage punggung, sentuhan, dll.
f. Ciptakan lingkungan yang tenang.
g. Atur posisi pasien nyaman : semi fowler.

Manajemen medikasi
a. Berikan analgetik, antiemetik, sedatif sesuai program.
b. Monitor respon pasien terhadap obat yang diberikan.
c. Monitor efek samping obat yang diberikan dan laporkan kepada
dokter.
d. Jelaskan tentang efek samping obat kepada pasien dan keluarganya.
e. Evaluasi keefektivan obat yang telah diberikan.

2) Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan untuk ingesti dan absorbsi makanan
Tujuan : Status nutrisi.
Kriteri hasil :
1. berat badan dalam rentang nomal sesuai dengan usia dan tinggi badan
2. mengenali faktor yang berpengaruh pada perubahan Berat badannya.
3. mengidentiikasi kebutuhan nutrisi
4. mengkonsumsi nutrisi yang adekuat
Intervensi
1. tentukan berat badan normal sesuai dengan usia dan tinggi badan.
2. kaji kemampuan klien untuk mendapatkan dan menggunakan nutrisi esensial
3. observasi kemampuan klien untuk makan.
4. evaluasi nilai laboratorium klien : serum albumin, serum total protein, serum ferritin, transferrin, hemoglobin, hematokrit, vitamin, dan mineral.
5. berikan oral higiene sebelum dan sesudah makan.
6. tentukan hubungan antara makn dan onset gejala mual, muntah, diare atau nyeri perut.
7. manajemen nutrisi :
• kaji makanan kesukaan klin dan adakah alergi makanan
• tentukan-dengan kolaborasi- jumlah kalori dan tipe nutrisi
yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
• sediakan makanan tinggi protein dan karbohidrat, dan rendah
lemak
• timbang berat badan klien dalam interval tertentu
8. anjurkan makan sedikit-sedikit tapi sering dan modifikasi waktu
penyajian makanan
3) Cemas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
Tujuan : pasien menunjukkan kontrol terhadap kecemasan
kriteria:
1. Dapat mengidentifikasi, verbalisasi, dan mendemonstrasikan teknik menurunkan kecemasan.
2. Menunjukkan postur, ekspresi wajah, perilaku, tingkat aktivitas yang menggambarkan kecemasan menurun.
3. Mampu mengidentifikasi dan verbalisasi penyebab cemas.
Intervensi
Reduksi kecemasan
a. Kaji tingkat kecemasan dan respon fisiknya.
b. Gunakan kehadiran, sentuhan (dengan ijin), verbalisasi
untuk mengingatkan pasien tidak sendiri.
c. Terima pasien dan keluarganya apa adanya.
d. Gali reaksi personal dan ekspresi cemas.
e. Bantu mengidentifikasi penyebab.
f. Gunakan empati untuk mendukung pasien dan keluarga.
g. Anjurkan untuk berfikir positif.
h. Intervensi terhadap sumber cemas.
i. Jelaskan aktivitas, prosedur.
j. Gali koping pasien..
k. Ajarkan tanda-tanda kecemasan.
l. Bantu pasien mendefinisikan tingkat kecemasan.
m. Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi.
n. Ajarkan teknik manajemen cemas.

4) Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif, kerusakan jaringan (luka operasi)
Tujuan : Menunjukkan kontrol infeksi selama dalam perawatan
Kriteria:
1. Bebas dari tanda infeksi.
2. Mendemonstrasikan tindakan hygienes seperti mencuci tangan.
Intervensi
Kontrol infeksi
a. Bersihkan lingkungan secara rutin.
b. Batasi jumlah pengunjung.
c. Ajarkan cara mencuci tangan kepada pasien dan keluarga.
d. Anjurkan keluarga untuk mencuci tangan sebelum dan sesudah
kontak dengan pasien.
e. Gunakan sabun anti mikroba untuk cuci tangan.
f. Gunakan sarung tangan dalam setiap tindakan.
g. Pakai gaun khusus.
h. Cukur dan bersihkan kulit sebagai persiapan tindakan invasif.
i. Ganti iv line sesuai protap.
j. Gunakan perawatan aseptik pada iv line.
k. Berikan intake mutrisi yang adekuat.
l. Berikan cairan dan istirahat yang cukup.
m. Atur pemberian antibiotik.
n. Ajarkan kepada keluarga tanda-tanda infeksi.
o. Lakukan perawatn drain setiap hari dengan teknik steril
p. Kaji pengeluaran drain
q. Ukur tanda vital (suhu, nadi, pernafasan, tekanan darah)
Proteksi infeksi
a. Monitor tanda infeksi lokal dan sistemik.
b. Monitor granulosit, WBC, diferensiasi.
c. Inspeksi kulit dan mukosa dari kemerahan, panas, atau drainase.
d. Batasi pengunjung.
e. Pertahankan teknik isolasi.
f. Lakukan perawatan kulit yang baik.
g. Lakukan kultur.
h. Sediakan peningkatan aktivitas dan mobilisasi.
i. Ajarkan kepada keluarga cara mencegah infeksi.
j. Jauhkan bunga segar dan hewan dari area pasien.
k. Laporan adanya dugaan infeksi pada pasien.

5) Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas trakturs gastrointestinal (sekunder terhadap imobilisasi)
Tujuan : Eliminasi bowel.
Kriteria hasil :
1.mempertahankan buang air besar yang lunak, tiap 1 – 3 hari.
2. menyatakan pulih dari ketidaknyamanan akibat konstipasi

Intervensi
1. Manajemen konstipasi
a. Monitor tanda dan gejala konstipasi
b. Monitor bising usus
c. Monitor BAB, termasuk frekuensi, konsistensi, bentuk, ukuran,
volume, dan warna, secara tepat.
d. Jelaskan problem dan rasionl rencana tindakan pada klien
e. Identifiksi faktor yang dapat menyebabkan konstipsi
f. Tingkatkan intake cairan, kecuali ada kontraindikasi
g. Ajarkan pada pasien/keluarga hubungan antara makanan, latihan,
dan intake cairan dengan konstipasi
h. Konsultasi dengan dokter bila tnda dan gejal konstipasi menetap.
i. Instruksikan pasien untuk mengkonsumsi diet tinggi serat
j. Administrasi laxtive/enema, secara tepat
k. Administrasi irigasi, secara tepat.

6) Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebihan (mual, muntah, drainase selang yang berlebihan)
Tujuan : Keseimbangan cairan.
Kriteria hasil :
1. Mempertahankan urin output normal > 1300 ml/hari
2. mempertahankan tekanan darah, nadi, dan suhu tubuh normal
3. mempertahankan elastisitas turhor kulit, lidah dan membran mukosa lembab
Intervensi
Intravenous therapy
a. Verifikasi order pemasangan IV
b. Administrasi iv terapi dengan teknik aseptik
c. Monitor aliran infus
d. Catat intake dan output, monitor kelebihan ciran
e. Monitor tanda dan gejala flebitis dan infeksi lokal
Manajemen cairan
a. monitor input dan output
b. tingkatkan intake oral
c. monitor status hidrasi (misal membran mukosa, nadi, tekanan
darah)
d. administrasi nasogastric tube, secara tepat
e. monitor drainase NGT

7) Kurang pengetahuan: penyakit, prosedur perawatan b.d. Kurangnya informasi.
Tujuan : Pasien menunjukkan pemahaman akan proses penyakit dan prosedur
perawatan
Kriteria:
1. Dapat menjelaskan status penyakit, pengobatan, paham akan perawatan yang dilakukan.
Intervensi
Ajarkan: Proses penyakit
a. Tentukan tingkat pengetahuan pasien dan keluarga yang berhubungan dengan proses penyakit.
b. Jelaskan patofisiologi penyakit dan hubungankan dengan anatomi dan fisiologi.
c. Gambarkan tanda dan gejala penyakit.
d. Gambarkan proses penyakit.
e. Identifikasi penyebab yang mungkin.
f. Sediakan informasi tentang kondisi pasien.
g. Berikan informasi tentang tindakan diagnostik.
h. Gambarkan rasionalitas dari terapi/perawatan yang diberikan.
i. Gambarkan komplikasi.
j. Diskusikan tentang perubahan gaya hidup pada pasien yang mungkin dibutuhkan.
k. Diskusikan tentang pilihan terapi/perawatan.
l. Sediakan waktu untuk mengeksplorasi pendapat kedua.
m. Gali sumber daya pendukung.
Daftar Pustaka

http://www. Us elsevierhealth. com. Nursing diagnoses. Outcomes and interventions

Iowa Intervention Project. 1996. Nursing Intervention Classification (NIC). Mosby Year Book, St.
Louis

NANDA. 2001. Nursing Diagnoses: Definitions & Classification. Philadelphia

Smeltzer, S.C & Bare, B.G, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth,
Edisi 8, Vol 2, EGC, Jakarta

Williams, L.S., Hopper, P.D, 2003, Understanding Medical Surgical Nursing, Second edition, F.A
Davis Company, Philadelphia